Pages

Beberapa Syubhat Seputar Cadar dan Bantahannya (Bagian Kedua)

بسم الله الرحمن الرحيم

Mari kita lanjutkan pembahasan kita tentang beberapa syubhat seputar cadar dan bantahannya. Pada bagian pertama, kita sudah membahas satu syubhat tentang hal ini. Di sana sudah kita sebutkan beberapa dalil dari Al Quran dan sunnah yang menerangkan tentang syariat hijab atau jilbab yang menutup wajah bagi wanita.

Berikut ini adalah beberapa syubhat lain seputar hijab. Di antaranya adalah:

2. Syubhat: Seluruh ulama bersepakat menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan bukan termasuk auratnya perempuan.

Bantahan: Pernyataan di atas adalah benar, namun ia berkaitan dengan keadaan di waktu shalat, bukan dalam masalah berhijab di hadapan para lelaki yang bukan mahramnya.

Seorang wanita ketika shalat diperbolehkan menampakkan wajah dan telapak tangan ketika shalat. Hal ini telah disepakati oleh para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata sebagaimana di dalam kitab Majmu’ul Fatawa (22/115): “Telah jelas di dalam nash dan ijma’ bahwasanya dia (wanita) tidak wajib ketika shalat untuk memakai jilbab ketika berada di rumahnya karena ia (jilbab) hanya wajib ketika keluar rumah. Ketika tidak memakai jilbab, ia shalat di dalam rumahnya meskipun tampak wajah, kedua tangan, dan kedua kakinya.”

Adapun pengecualian yang tersebut di dalam ayat:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang (biasa) tampak dari padanya.” [QS An Nur: 31]

Yang dimaksud dengan “yang biasa tampak” dari ayat di atas adalah pakaian, bukan wajah dan telapak tangan. Ini adalah penafsiran dari Abdullah bin Mas’ud sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Hakim, Ibnu Abi Syaibah, dan Ibnu Jarir Ath Thabari dengan sanad yang shahih.

Bahkan telah banyak didapati di dalam kitab-kitab fiqih penukilan ijma’ tentang wajibnya wanita untuk berhijab dan menutupi wajahnya ketika berada bersama lelaki bukan mahramnya. Di antara para ulama yang menukilkan ijma’ tersebut adalah Ibnul Mundzir, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Rusyd, Ibnu Qudamah, Ibnul Qaththan, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar Al Asqalani, dll.

Adapun penafsiran pengecualian pada ayat di atas dengan wajah dan telapak tangan adalah tafsir dari Ibnu Abbas, namun sanadnya adalah lemah. Begitu pula dengan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang menceritakan kisah Asma` bintu Abi Bakr yang menemui Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan pakaian yang tipis. Beliau memalingkan mukanya dan berkata:

يا أسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم تصلح أن يرى منها إلا هذا وهذا-وأشار إلى وجهه وكفيه

“Wahai Asma`, sesungguhnya seorang perempuan sudah mengalami haid, tidak pantas tampak dari dirinya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk ke arah wajah dan dua telapak tangannya. [HR Abu Daud (4104)]

Hadits  ini sanadnya lemah karena Khalid bin Duraik tidak pernah bertemu dengan Aisyah.

3. Syubhat: Para ulama tidak bersepakat tentang kewajiban memakai cadar. Akan tetapi memakai hijab atau jilbab (yang menampakkan wajah) itulah yang diperintahkan oleh Allah.

Bantahan: Pertama kita ingatkan kembali bahwa yang dimaksud dengan hijab atau jilbab di dalam istilah syariat adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, termasuk wajah.

Kedua, para ulama berfatwa tentang wajibnya bagi seorang wanita muslimah untuk menutupi wajahnya ketika khawatir dengan munculnya fitnah. Maka kita katakan kepada orang-orang yang memperjuangkan penghapusan hijab: lebih banyak manakah fitnah yang terjadi, apakah di masa dahulu ataukah di masa kini? Jawabannya tentu pada masa kini.

Ketiga, penafsiran hijab/jilbab dengan jilbab yang menampakkan wajah bisa membuka pintu fitnah bagi para lelaki karena dengan dia menampakkan wajahnya tentunya akan terlihat kecantikannya, senyumannya, lesung pipinya, bedak wajahnya, dan lain sebagainya yang mana semuanya itu bisa tertutupi dengan memakai hijab/jilbab yang syar’i yaitu cadar, niqab, atau yang sejenisnya.

Keempat, para ulama Ahlus Sunnah yang membolehkan seorang wanita untuk menampakkan wajahnya di antara para lelaki bukan mahramnya tetap mengatakan bahwa menutup wajah itu lebih utama ketika dalam keadaan aman dari fitnah. Adapun ketika terjadinya fitnah, maka mereka mewajibkan para wanita untuk menutupi wajah-wajah mereka.

Bahkan para istri dan anak-anak perempuan mereka senantiasa tetap memakai hijab yang menutupi wajah mereka ketika bertemu dengan lelaki yang bukan mahram mereka.

4. Syubhat: Memakai niqab adalah sesuatu yang berlebih-lebihan.

Bantahan: Pernyataan ini merupakan pernyataan yang sungguh jelas kebatilannya karena yang mewajibkan memakai hijab atau jilbab yang menutupi wajah adalah Allah ta’ala dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم , dan diamalkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan kaum muslimin yang setelah mereka hingga masa kita ini. Maka ini bukanlah suatu hal yang berlebihan sama sekali.

Penggunaan hijab/jilbab yang menutupi wajah ini pun dibicarakan oleh para ulama di dalam kitab-kitab mereka. Di antara mereka adalah:

a. Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam Al Harawi di dalam kitab Gharibul Hadits (4/317-318):

Beliau membahas firman Allah ta’ala (إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا): “Yang kami amalkan dalam hal ini adalah pendapat Abdullah bin Mas’ud dari Abul Ahwash dari Abdullah (bin Mas’ud) bahwa dia berkata: “Itu adalah pakaian.” Abu Abdillah berkata: “Yaitu mereka tidak menampakkan dari perhiasan mereka kecuali pakaian.”

b. Abu Hayyan di dalam tafsirnya berkata:

“(Allah) memerintahkan para wanita untuk menyelisihi pakaiannya para budak wanita dengan cara memakai pakaian panjang yang menyelimuti tubuh, menutupi kepala dan wajah demi menjaga kehormatan mereka dan agar mereka disegani sehingga tidak ada orang yang berniat jelek terhadap mereka.”

c. Abu Hamid Al Ghazali di dalam kitab Ihya`u Ulumuddin berkata:

“Para lelaki di setiap zaman senantiasa terbuka wajahnya, dan para wanita keluar dalam keadaan memakai niqab.”

d. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Fathul Bari (9/405):

“Kebiasaan para wanita sejak zaman dahulu dan kini adalah menutup wajah-wajah mereka dari para lelaki asing bukan mahram.”

e. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata sebagaimana di dalam Majmu’ul Fatawa (15/372):

“Kebiasaan kaum mukminin pada zaman Nabi dan para penggantinya adalah bahwasanya wanita yang merdeka (bukan budak) memakai hijab.”

Keterangan-keterang seperti di atas juga dinukilkan oleh para ulama lainnya seperti Al ‘Aini, Al Qasthalani, Al Mubarakfuri, dll.

Demikianlah jawaban atas beberapa syubhat yang disampaikan oleh pihak yang menolak syariat hijab yang syar’i atau pihak yang ingin agar para wanita menampakkan wajah-wajah mereka di hadapan para lelaki asing yang bukan mahram mereka. Semoga bermanfaat.

والحمد لله رب العالمين

Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Ma’rakatul Hijab karya Syekh Muhammad bin Abdillah Al Imam hadahullah.

---------------------------------------

TAMBAHAN:

Berikut ini ada tambahan beberapa syubhat (kerancuan) tentang masalah ini yang disampaikan oleh sebagian pembaca. Pertanyaannya akan langsung kami tampilkan dalam bentuk soal-jawab secara ringkas.

بسم الله الرحمن الرحيم

Saya akan menjawab pertanyaan anda secara ringkas karena banyaknya hal yang ditanyakan dan sebagiannya sudah terjawab di dalam kedua bagian tulisan.

1. Soal: Bukankah asal usul pemakaian niqab/cadar itu juga karena faktor musim yang ada di Arab ?

Jawab: Jawabannya adalah bukan demikian. Tujuan disyariatkannya hijab adalah untuk menjaga kesucian hati dan kehormatan kaum wanita, sebagaimana disebutkan di dalam jawaban syubhat pertama poin c. Syariat agama Islam itu diturunkan bagi seluruh umat manusia di manapun juga. Bila kita berdalih meninggalkan satu syariat dengan beralasan perbedaan zaman dan tempat, maka akan banyak sekali syariat yang hilang atau berubah. Coba anda renungkan.

2. Soal: Kenapa ulama besar seluruh dunia sebagian besar mengatakan tidak mewajibkannya? Begitu juga fatwa yang dikeluarkan di negara Arab meluruskan anggapan bahwa menggunakan cadar/niqab itu wajib berarti tidak wajib digunakan. Kenapa ada aturan seperti itu kalau niqab itu harus dipakai?

Jawab: Klaim anda bahwa seluruh ulama tidak mewajibkan berhijab syar’i perlu ditinjau ulang kembali. Silakan melihat kembali pembahasan syubhat nomor 2 tentang penukilan ijma’ tentang wajibnya wanita untuk berhijab dan menutupi wajahnya ketika berada bersama lelaki bukan mahramnya. Silakan lihat pula akibat yang bisa terjadi karena mengikuti ijtihad ulama yang membolehkan seorang wanita untuk membuka wajah di hadapan lelaki bukan mahramnya di pembahasan syubhat nomor 3.

3. Soal: Bagaimana dengan dalil tentang larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak itu?

Jawab: Silakan melihat jawaban syubhat nomor 2.

4. Soal: Kemudian kenapa wanita yang bercadar di Arab Saudi disebut wanita nakal? Astaghfirullah na’uzubillahi min dzalik. Selain itu, sudah banyak kejadian penyalahgunaan dari pemakaian cadar/niqab tersebut.

Jawab: Tujuan syariat itu mutlak mengandung kebaikan dan manfaat bagi umatnya karena dibuat oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila kita menjumpai sekelompok orang (oknum) yang menyalahgunakan syariat Islam untuk mempermudah melakukan kejahatan tertentu, maka janganlah tudingan diarahkan kepada syariat tersebut, akan tetapi arahkanlah kepada pelaku kejahatan tersebut. Jelas bukan?

5. Soal: Bukankah orang yang membuka muka tujuannya agar untuk dikenal. Kalau kita pakai cadar/niqab bagaimana orang bisa mengenal baik kita?

Jawab: Apakah anda menyangka wanita bercadar itu tidak memiliki teman? Justru -insya Allah- teman-teman mereka lebih baik agamanya karena mereka memiliki kriteria yang lebih ketat dalam masalah pergaulan. Hilangkan persangkaan buruk seperti ini karena ibarat pepatah mengatakan “Tak kenal maka tak sayang”.

6. Soal: Ketika kita masuk liang lahat muka harus dibuka sedang selama hidupnya ditutup mukanya.

Jawab: Tentu saja mukanya dibuka karena mayat sudah tidak lagi menimbulkan fitnah dan karena orang yang sudah meninggal itu sudah terbebas dari beban syariat sehingga tidak perlu bercadar lagi, bahkan shalat, puasa, dan zakat pun tidak perlu dilakukan lagi.

7. Soal: Niqab juga dianggap aliran garis keras sedangkan Islam mengajarkan kemudahan dan bukan hal yang ekstrim.

Jawab: Allah ta’ala Maha mengetahui tentang keadaan hamba-hamba-Nya. Dia tidak akan membuat syariat yang berada di luar batas kemampuan mereka. Di dalam sebuah hadits yang shahih dikatakan bahwa sesungguhnya agama ini adalah mudah. Tapi itu bukan berarti kita boleh bermudah-mudahan di dalam masalah agama.

Mengamalkan agama dengan benar dan murni tidaklah bisa dikatakan aliran keras atau ekstrim, justru itu merupakan bentuk pengabdian kita kepada Allah dan kecintaan kita terhadap sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Betapa banyak dalil di dalam Al Quran dan hadits yang memerintahkan kita untuk berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah Rasul.

8. Soal: Bukankah Rasulullah memerintahkan untuk menebarkan senyum kepada saudara dan senyum itu bagian ibadah atau sedekah. Kalau kita pakai niqab/cadar bagaimana mau menjalankan sunnah Rasul yang satu ini?

Jawab: Apa yang anda katakan itu adalah benar. Namun tentunya senyuman itu hanya boleh ditujukan kepada sesama wanita dan lelaki mahramnya. Tentunya dia bisa memberikan senyumannya kepada mereka ketika berkumpul di tempat yang khusus bagi wanita sehingga aman dari pandangan lelaki lain.

Kalau yang anda bingungkan bagaimana cara para wanita bisa menebarkan pesona senyumannya kepada para lelaki asing yang bukan mahramnya kalau dia bercadar, maka kami katakan bahwa perbuatan ini merupakan fitnah dan maksiat yang tidak boleh dilakukan.

Demikian tanggapan kami secara ringkas, mohon dibaca dengan teliti.

وبالله التوفيق