Pages

Azan Jum’at: Sekali atau Dua Kali?

بسم الله الرحمن الرحيم

Pada hari Jum’at, kita mendengar sebagian mesjid ada yang mengumandangkan azan satu kali, yaitu ketika khatib telah naik ke mimbar, dan ada pula yang mengumandangkan azan sebanyak dua kali, yaitu sebelum dan sesudah khatib naik ke mimbar. Lantas manakah di antara dua hal ini yang benar? Manakah di antara dua ini yang sesuai dengan sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم ? Insya Allah pada kesempatan ini, kita akan membahasnya secara ringkas.

Imam Al Bukhari rahimahullah, meriwayatkan dari As Sa`ib bin Yazib, dia berkata:

كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ

“Dahulu pada masa Nabi صلى الله عليه وسلم , Abu Bakr, dan Umar radhiallahu ‘anhuma, azan pada hari Jum’at, awalnya dikumandangkan ketika imam telah duduk di atas mimbar. Lalu ketika masa Utsman radhiallahu ‘anhu dan penduduk (Madinah) telah ramai, dia menambahkan azan ketiga (yang dikumandangkan) di daerah Az Zaura`.” [HR Al Bukhari (912)]

Imam Al Bukhari berkata: “Az Zaura` adalah nama sebuah pasar di kota Madinah.”

Yang dimaksud dengan “azan ketiga” , dikatakan oleh Ibnu Rajab Al Hanbali: “Dua azan yang dilakukan pada masa Nabi صلى الله عليه وسلم adalah azan dan iqamah.” Artinya, iqamah itu dianggap sebagai azan juga, akan tetapi ia bukan azan yang sebenarnya, berdasarkan hadits Abdullah bin Mughaffal, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ

“Di antara dua azan ada shalat (sunat).” [HR Al Bukhari (624) dan Muslim (838)]

Yaitu antara azan dan iqamah. Jadi, yang dimaksud dengan azan ketiga pada masa Utsman adalah azan kedua dalam arti yang sebenarnya.

Di dalam riwayat An Nasa`i ada tambahan lafazh:

كَانَ بِلَالٌ يُؤَذِّنُ إِذَا جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَإِذَا نَزَلَ أَقَامَ ثُمَّ كَانَ كَذَلِكَ فِي زَمَنِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

“Dahulu Bilal mengumandangkan azan apabila Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah duduk di atas mimbar pada hari Jum’at. Apabila beliau telah turun dari mimbar, maka dia melakukan iqamah. Demikianlah keadaannya pada masa Abu Bakr dan Umar radhiallahu ‘anhuma.” [HR An Nasa`i (1393)]

Apabila kita perhatikan dua riwayat di atas, kita bisa dengan jelas menyimpulkan bahwa yang pertama sekali mengadakan dua azan pada hari Jum’at adalah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Hal ini sama sekali tidak pernah dikenal, apalagi dilakukan, oleh Nabi صلى الله عليه وسلم , Abu Bakr Ash Shiddiq, dan Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhuma.

Perkara tidak disyariatkannya azan sebelum khatib duduk di atas mimbar, juga didukung oleh banyak ulama, di antaranya adalah Abdullah bin Umar, Al Hasan Al Bashri, Az Zuhri, ‘Atha` bin Abi Rabah, Sufyan Ats Tsauri, Imam Asy Syafi’i, Ath Thahawi, Mahmud As Subuki, Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Rusyd, Ibnu Qudamah, Ibnu Hazm, Al Qurthubi, Imam Malik, As Shan’ani, Al Albani, Muqbil Al Wadi’i, dan lain-lain.

Syubhat Para Pendukung Dua Azan Pada Hari Jum’at.

Syubhat pertama:

Mereka mengatakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu adalah salah satu dari Khulafaur Rasyidin yang diperintahkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم bagi kita untuk mengikuti sunnah mereka, sebagaimana di dalam hadits:

فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين

“Wajib atas kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk.” [HR At Tirmidzi (2676). Hadits shahih.]

Azan dua kali pada hari Jum’at adalah sunnahnya Utsman, maka wajib bagi kita untuk mengamalkannya berdasarkan hadits di  atas.

Jawabannya:

Benar bahwasanya kita harus mengikuti Sunnah Khulafaur Rasyidin, dan ini pun merupakan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana disebutkan di dalam Syarh Aqidah Ath Thahawiyyah. Namun yang perlu ditekankan terlebih dahulu adalah: manakah yang lebih wajib untuk didahulukan, sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم ataukah sunnah (baca: ijtihad) Khulafaur Rasyidin? Jawabannya tentu saja adalah yang pertama.

Adapun perintah Nabi صلى الله عليه وسلم untuk mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin di dalam hadits di atas maksudnya adalah perintah untuk mengikuti mereka di dalam ketundukan mereka terhadap sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم . Inilah sunnahnya para Khulafaur Rasyidin. Bahkan di antara sunnah mereka adalah untuk tidak bertaklid kepada siapapun juga selain dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Demikianlah makna dari apa yang disampaikan oleh Ibnu Hazm Al Andalusi rahimahullah di dalam kitabnya Ihkamul Ahkam (6/236).

Jadi, kita baru mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin ketika tidak ada sunnah dari Rasul yang menerangkan tentang hal tersebut. Apabila ada sunnah Rasul yang menerangkannya, maka wajib bagi kita untuk mengikutinya. Contohnya adalah di dalam masalah dua azan pada hari Jum’at ini.

Syubhat kedua:

Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan kita untuk mengikuti mereka sebagaimana tersebut di dalam sebuah hadits:

أصحابي كالنجوم بأيهم اقتديتم اهتديتم

“Para sahabatku laksana bintang-bintang. Siapapun yang kalian ikuti di antara mereka, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk.”

Hadits ini menunjukkan bahwa sunnah Khulafaur Rasyidin manapun yang kita ikuti, maka berarti kita telah mendapatkan petunjuk dan kebenaran. Termasuk ke dalam hal ini adalah mengikuti ijtihad Utsman tentang dua azan Jum’at.

Jawabannya:

Hadits di atas adalah hadits palsu karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi pendusta dan gemar memalsukan hadits yang bernama Sallam bin Sulaim. Di sanadnya juga terdapat seorang perawi yang tak dikenal (majhul) yang bernama Al Harits Ghushain. Silakan melihat takhrij hadits ini secara lebih terperinci di kitab Silsilah Adh Dha’ifah karya Al Albani rahimahullah.

Selain mungkar sanadnya, matan hadits ini pun bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan kita untuk bersatu dan melarang kita dari perselisihan. Selain itu, tidaklah mungkin Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan kita untuk mengikuti seluruh perkataan semua sahabat beliau , karena mereka itu tidaklah terbebas dari dosa (ma’shum). Di antara mereka sendiri terkadang terjadi perbedaan fatwa dan ijtihad, ada yang benar dan ada pula yang keliru.

Syubhat ketiga:

Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya (1017) bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده

“Barangsiapa yang menghidupkan di dalam Islam sebuah sunnah yang baik, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya.”

Mereka mengatakan bahwa azan Jum’at dua kali merupakan sunnah hasanah yang dihidupkan oleh Utsman binAffan radhiallahu ‘anhu.

Jawabannya:

Bantahan terhadap syubhat ini bisa dari beberapa sisi:

Pertama: yang dimaksud dengan sunnah itu adalah yang berasal dari Nabi صلى الله عليه وسلم , baik itu berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, tulisan, isyarat, keinginan, dan sesuatu yang tidak beliau kerjakan. Jadi, apa yang datang dari selain Nabi صلى الله عليه وسلم bukanlah sunnah yang sebenarnya.

Kedua: hadits ini maknanya adalah barangsiapa yang menghidupkan syariat dari Al Qur`an dan sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم yang telah ditinggalkan oleh kebanyakan manusia, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala dari orang lain yang mengikuti sunnah Rasul yang telah hampir atau telah ditinggalkan oleh kaum muslimin. Kasus Utsman ini bukanlah menghidupkan suatu sunnah Rasul yang hampir punah karena syariat satu kali azan pada hari Jum’at sama sekali tidak ditinggalkan oleh kaum muslimin pada saat itu.

والحمد لله رب العالمين

Disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Ahkamul Jum’ah wa Bida’uha karya Syekh Yahya bin Ali Al Hajuri hafizhahullah.