Pages

Beberapa Permasalahan Seputar Sujud Sahwi

بسم الله الرحمن الرحيم

Sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan ketika kita lupa atau ragu melakukan perkara wajib dalam shalat kita. Ada beberapa permasalahan penting yang berkaitan dengan ibadah yang satu ini, di antaranya adalah sebagai berikut:

Hukum sujud sahwi.

Jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya Ahmad, Malik, dan Abu Hanifah, mengatakan bahwa hukum sujud sahwi ini adalah wajib, terutama sujud sahwi yang dilakukan sebelum salam. Adapun Asy Syafi’i dan kelompok pendukung akal (ashhabur ra`yi) mengatakan bahwa hukumnya adalah sunat. Lihat Majmu’ul Fatawa Ibnu Taimiyah (23/28), Fathul Bari Ibnu Rajab (6/515), dan Al Mughni (2/433).

Pendapat yang benar adalah pendapat jumhur ulama berdasarkan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

إذا زاد الرجل أو نقص فليسجد سجدتين

“Jika seseorang melakukan penambahan atau pengurangan (di dalam shalatnya) maka hendaklah dia sujud (sahwi) dua kali.” [HR Muslim (572)]

Dalam hadits yang lain dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ

“Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat yang telah dia lakukan, tiga ataukah empat, maka hendaklah dia sujud (sahwi) dua kali dalam keadaan duduk.” [HR Al Bukhari (1231) dan Muslim (389)]

Oleh karena itu, barangsiapa yang meninggalkan sujud sahwi sebelum salam, maka shalatnya adalah batal karena ia merupakan kewajiban shalat. Adapun jika sujud ini dilakukan setelah salam, maka jumhur ulama berpendapat bahwa shalatnya tidaklah batal karena ia adalah kewajiban di luar shalat. Hal ini serupa dengan azan, iqamah, dan sutrah (pembatas shalat). Hal-hal ini adalah wajib hukumnya, namun apabila ditinggalkan dengan sengaja maka hukum shalatnya tidaklah batal. Lihat Majmu’ul Fatawa Ibnu Taimiyah (23/33) dan Fathul Bari Ibnu Rajab (6/517).

Kapan melakukan sujud sahwi?

1. Apabila disebabkan karena adanya keragu-raguan di dalam shalat, maka ada dua keadaan:

a. Jika dia merasa meyakini sesuatu dari keragu-raguannya itu, maka dia harus berpegang kepada keyakinannya tersebut, lalu melakukan sujud sahwi setelah salam.

b. Jika dia tidak bisa memutuskan mana yang lebih dia yakini, maka dia memilih apa yang sudah pasti telah dia lakukan sebelumnya, lalu melakukan sujud sahwi sebelum salam.

Ini adalah pendapat An Nakha’i, Sufyan Ats Tsauri, Abu Hanifah, dan Ahmad di dalam suatu riwayat. Pendapat ini didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin. Mereka berdalil dengan hadits Al Khudri radhiallahu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

إذا شك أحدكم في صلاته فلم يدر كم صلى ؟ ثلاثا أم أربعا ؟ فليطرح الشك وليبن على ما استيقن ثم يسجد سجدتين قبل أن يسلم فإن كان صلى خمسا شفعن له صلاته وإن كان صلى إتماما لأربع كانت ترغيما للشيطان

“Jika salah seorang dari kalian ragu di dalam shalatnya sehingga dia tidak tahu berapa rakaat yang telah dia laksanakan, tiga ataukah empat, maka hendaklah dia membuang keraguan itu dan berpegang kepada apa yang dia yakini, lalu dia melakukan sujud (sahwi) dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka shalat itu akan memberikan syafaat baginya; dan jika dia shalat sempurna empat rakaat, maka itu akan membuat syaitan jengkel.” [HR Muslim (571)]

Faidah: Ibnu Rajab Al Hambali menyebutkan di dalam kitab Fathul Bari (6/515): “Barangsiapa yang waswas di dalam shalatnya, namun dia tidak mengalami keraguan sedikitpun di dalam jumlah rakaatnya, maka dia tidak perlu melakukan sujud sahwi menurut pendapat mayoritas ulama. Sebagian ulama bahkan menukilkan ijma’ dalam hal ini.”

2. Apabila disebabkan karena adanya kelupaan di dalam shalat, apakah dia telah melakukan suatu penambahan atau pengurangan, maka ada dua keadaan:

a.  Jika melakukan suatu pengurangan di dalam shalat, dengan meninggalkan suatu rukun atau kewajiban shalat, maka dia melakukan sujud sahwi sebelum salam.

b. Jika melakukan suatu penambahan di dalam shalat, maka sujud sahwi dilakukan setelah salam.

Ini adalah pendapatnya Malik dan Asy Syafi’i di dalam pendapatnya yang lama, dan Ahmad di dalam suatu riwayat. Pendapat ini didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin. Mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin Buhainah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمْ الظَّهْرَ فَقَامَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ لَمْ يَجْلِسْ فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ حَتَّى إِذَا قَضَى الصَّلَاةَ وَانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ وَهُوَ جَالِسٌ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ ثُمَّ سَلَّمَ

“Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم mengimami mereka shalat Zhuhur. Beliau shalat dua rakaat yang pertama tetapi tidak melakukan duduk (tasyahud awal). Para jama’ah pun mengikuti beliau. Sampai ketika beliau telah (hampir) menyelesaikan shalatnya, dan orang-orang menunggu salam, beliau bertakbir sambil dalam keadaan duduk lalu sujud dua kali sebelum salam. Setelah itu beliau mengucapkan salam.” [HR Al Bukhari (829) dan Muslim (570)]

Jika dia baru mengingat kesalahannya setelah selesai shalat.

Jika seseorang lupa di dalam shalatnya, lalu dia baru mengingatnya setelah selesai shalat, maka dia cukup menyambung/menyempurnakan shalatnya yang kurang, lalu dia melakukan sujud sahwi setelah salam.

Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم melaksanakan shalat Ashar dua rakaat, lalu salam, kemudian beliau berpindah tempat duduk. Setelah diingatkan oleh sebagian sahabat, maka beliau bangkit menambah dua rakaat lagi, lalu salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi. [HR Al Bukhari (1229) dan Muslim (573)]

Hal ini boleh dia lakukan dengan catatan bahwa selang waktu antara salam dengan waktu teringatnya tidaklah terlalu lama. Apabila jarak waktu antara keduanya terlalu lama, maka shalatnya tadi adalah batal dan dia harus mengulanginya dari awal lagi. Ini adalah pendapatnya Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad. Lihat Fathul Bari Ibnu Rajab (6/461-463).

Perlukah melakukan tasyahud setelah sujud sahwi?

Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa apabila sujud sahwi dilakukan sebelum salam maka tidak perlu lagi melakukan tasyahud. Sedangkan apabila ia dilakukan setelah salam maka perlu dilakukan tasyahud. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan pengikut mazhab Hanabilah. Mereka berdalil dengan hadits ‘Imran ibnul Hushain radiallahu ‘anhu, dia berkata:

أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى بهم فسها فسجد سجدتين ثم تشهد ثم سلم

“Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم mengimami mereka suatu shalat, lalu beliau lupa. Lalu beliau melakukan sujud (sahwi) dua kali, kemudian bertasyahud, kemudian salam.” [HR Abu Daud (1039)]

Hadits ini secara umum memang shahih sanadnya, namun sayangnya ternyata lafazh “kemudian bertasyahud” adalah syadz karena menyelisihi riwayat-riwayat lain yang lebih shahih yang tidak menyebutkan lafazh ini. Perawi yang melakukan penyelisihan ini bernama Asy’ats bin Abdil Malik Al Humrani.

Sedangkan sebagian ulama yang lainnya mengatakan sama sekali tidak perlu dilakukan tasyahud lagi, baik untuk sujud yang dilakukan sebelum salam maupun yang setelah salam. Ini adalah pendapatnya Ibnu Sirin, Al Hasan Al Bashri, Al Bukhari, Ibnu Taimiyah, Syekh Abdurrahman As Sa’di, dan Syekh Muqbil Al Wadi’i.

Pendapat yang kedua ini adalah pendapat yang paling benar karena tidak ada satu hadits shahihpun yang mensyariatkan hal ini. Adapun hadits ‘Imran ibnul Hushain di atas, ia adalah hadits syadz yang tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Lihat Fathul Bari Ibnu Rajab (6/477), Al Mughni (2/431-432), dan Ghayatul Maram (5/292).

Jika imam lupa tapi makmum tidak lupa.

Jika imam lupa, sedangkan makmum tidak lupa, maka ada dua keadaan:

a. Jika sujud ini dilakukan sebelum salam, maka makmum wajib mengikuti imam ketika dia melakukan sujud sahwi, baik makmum ini masbuq ataupun tidak, berdasarkan hadits Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَيْسَ عَلَى مَنْ خَلْفَ الْإِمَامِ سَهْوٌ، فَإِنْ سَهَا الْإِمَامُ فَعَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ خَلْفَهُ

“Tidak ada lupa bagi orang yang berada di belakang imam. Jika imam lupa, maka dia dan orang yang dibelakangnya wajib melakukan (sujud sahwi).” [HR Ad Daraquthni (1/377). Hadits dha’if.]

Hadits ini lemah karena di dalamnya terdapat seorang perawi yang sangat lemah yang bernama Kharijah bin Mush’ab dan seorang perawi majhul (tidak dikenal) yang bernama Abul Husain Al Madini. Namun meskipun hadits ini lemah, para ulama telah bersepakat mengamalkan isi hadits tersebut berdasarkan hadits lainnya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ

“Sesungguhnya imam itu diangkat adalah untuk diikuti.” [HR Al Bukhari (378) dan Muslim (411)]

b. Jika sujud ini dilakukan setelah salam dan makmum tidak masbuq (terlambat), maka makmum tetap mengikuti imam melaksanakan sujud sahwi berdasarkan hadits di atas.

c. Jika sujud ini dilakukan setelah salam dan makmum datang terlambat (masbuq), maka makmum tidak boleh mengikuti imam karena sujud yang dilakukan oleh imam telah terpisah dengan salam, dan makmum yang masbuq tidak lagi boleh mengikuti imam bila dia telah salam, karena bila dia ikut salam bersama imam maka shalat makmum yang masbuq tadi otomatis menjadi batal.

Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syekh Muhammad Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitab Asy Syarhul Mumti’ (3/526).

Jika makmum lupa tapi imam tidak lupa.

Jumhur ulama mengatakan bahwa makmum tidak wajib melakukan sujud sahwi jika keadaannya seperti ini, berdasarkan hadits:

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ

“Sesungguhnya imam itu diangkat adalah untuk diikuti.” [HR Al Bukhari (378) dan Muslim (411)]

Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syekh Muhammad Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitab Asy Syarhul Mumti’ (3/526).

Demikianlah beberapa permasalahan seputar sujud sahwi. Semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.

والحمد لله رب العالمين

Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Syarhu Bulughil Maram karya Syekh Muhammad bin Hizam Al Ba’dani hafizhahullah ta’ala.