Pages

Hukum Perceraian di Luar Pengadilan

بسم الله الرحمن الرحيم

Pada artikel sebelumnya yang berjudul Jenis-Jenis Perceraian dalam Islam, kita telah mengetahui bahwa putusnya suatu ikatan pernikahan (perceraian) ada tiga macam, yaitu talak, khulu’, dan li’an. Di antara permasalahan yang timbul setelahnya adalah ada yang mengatakan bahwa perceraian harus dilakukan di depan hakim atau pengadilan. Ada pula yang mengatakan ia boleh dilakukan tanpa melalui proses pengadilan. Manakah yang benar dari kedua pendapat di atas? Berikut ini penjelasannya.

Kebanyakan ulama berpendapat tentang sahnya khulu’ yang dilakukan di luar pengadilan. Hal ini pernah terjadi pada masa kekahalifahan Umar ibnul Khaththab dan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhuma. Ini adalah pendapatnya Syuraih, Az Zuhri, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Al Bukhari, dan lain-lain. Alasannya adalah karena khulu’ pada hakikatnya adalah suatu bentuk akad dan serah terima (mu’awadhah) dengan adanya kerelaan satu sama lain sehingga tidak membutuhkan kepada keputusan hakim, seperti akad jual beli dan akad nikah. Sebagaimana halnya talak hukumnya sah jika dilakukan di luar pengadilan, maka begitu pula halnya dengan khulu’.

Adapun Al Hasan Al Bashri dan Ibnu Sirin, keduanya berpendapat bahwa hal ini harus dilakukan di hadapan hakim berdasarkan firman Allah:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

“Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” [QS Al Baqarah: 229]

Di dalam ayat ini disebutkan bahwa kekhawatiran itu terjadi pada selain pihak suami dan istri, yaitu hakim. Jadi yang dimaksud dengan “kalian” adalah hakim. Artinya, jika hakim melihat tidak ada kemungkinan keduanya untuk berdamai, maka hakim memutuskan untuk menjatuhkan khulu’.

Akan tetapi penafsiran ini dibantah oleh kelompok pertama dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas adalah bahwa hakim hanya bertugas untuk mengikrarkan jika terjadi kasus khulu’, dan dia tidak boleh untuk menolaknya. Ataupun bisa jadi makna lain “kalian” dari ayat di atas adalah kerabat keluarga, bukan hakim. Lihat Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari (9/491) dan Al Mughni  (8/175).

Adapun li’an, maka ia wajib dilakukan di hadapan hakim. Jika dilakukan tanpa sepengetahuan hakim, maka hukum li’an tersebut tidaklah sah. Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata: “Mereka (ulama) bersepakat bahwa di antara syarat sahnya (li’an) adalah dengan keputusan hakim.” Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata di dalam kitab At Tamhid (6/190) : “Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.”

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan di atas adalah talak dan khulu’ tidak disyaratkan harus dilakukan di pengadilan. Keduanya boleh dilakukan meskipun di luar pengadilan tanpa sepengetahuan hakim. Adapun li’an, maka ia wajib untuk dilakukan di hadapan hakim karena ia merupakan salah satu dari syarat sahnya li’an. Wallahu a’lam.

والحمد لله رب العالمين

Sumber: Artikel di atas disadur dengan perubahan seperlunya oleh penulis dari kitab Syarh Bulughil Maram karya Syaikh Muhammad bin Hizam hafizhahullah.