Pages

Hukum Shalat di Tempat Maksiat dan Kufur

بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan:

Assalamualaikum. Sebelumnya saya minta maaf dengan pertanyaan ini karena saya ingin tahu hukum sebenarnya. Apakah boleh bagi kita untuk melakukan shalat di rumah yang selalu dijadikan sebagai tempat maksiat zina dan minuman keras? Mohon jawabannya.

Jawaban:

Wa'alaikumussalam warahmatullah.

Sebelum menjawab pertanyaan anda, ada baiknya jika kita membaca terlebih dahulu suatu pertanyaan yang disampaikan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang mirip dengan pertanyaan yang anda ajukan di atas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ta’ala pernah ditanya sebagai berikut: “Apakah boleh shalat di biara-biara dan gereja-gereja dengan adanya gambar (makhluk bernyawa di dalamnya) atau tidak? Dan apakah bisa dikatakan bahwa itu semua merupakan rumah-rumah Allah ataukah tidak?”

Beliau menjawab:

“Itu bukanlah rumah-rumah Allah, rumah-rumah Allah hanyalah mesjid-mesjid, bahkan itu semua adalah rumah-rumah tempat berbuat kufur terhadap Allah, meskipun terkadang pernah disebut-sebut nama Allah di dalamnya.  Rumah-rumah itu sesuai dengan tingkatan penghuninya, dan penghuninya adalah kaum kafir, maka berarti itu merupakan rumah ibadah kaum kafir.

Adapun tentang shalat di dalamnya, maka padanya ada tiga pendapat ulama. Pada mazhab Ahmad dan lainnya: larangan secara mutlak. Ini juga pendapat Malik. (Kedua:) boleh secara mutlak, dan ini adalah pendapat sebagian sahabat Ahmad. Dan yang ketiga, dan ini yang benar, yang diriwayatkan dari Umar ibnul Khaththab dan selainnya, dan ini yang tercatat dari Ahmad dan selainnya, bahwasanya jika di dalamnya terdapat gambar maka tidak boleh shalat di dalamnya karena malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat gambar, dan juga karena Nabi صلى الله عليه وسلم tidak masuk ke dalam Ka’bah sampai dihilangkan gambar-gambar yang ada di dalamnya. Demikian pula perkataan Umar: “Sesungguhnya kami tidak masuk ke dalam gereja-gereja mereka sedangkan gambar-gambar masih ada di dalamnya.”

Ia sama kedudukannya seperti mesjid yang dibangun di atas  kubur. Di dalam kitab Ash Shahihain bahwasanya diceritakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم tentang gereja di negeri Habasyah dan tentang keindahan dan gambar-gambar di dalamnya. Beliau bersabda:

أولئك إذا مات فيهم الرجل الصالح بنوا على قبره مسجدًا، وصوروا فيه تلك التصاوير، أولئك شرار الخلق عند اللّه يوم القيامة

“Mereka apabila ada orang shalih yang wafat di tempat mereka, maka mereka akan membangun di atas kuburnya sebuah tempat beribadah dan membuat di dalamnya gambar-gambar tersebut. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah pada hari kiamat.”

Adapun bila di dalamnya tidak terdapat gambar-gambar, maka para sahabat telah pernah melaksanakan shalat di dalam gereja. Wallahu a’lam.” Demikian fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana yang tersebut di dalam Majmu’ul Fatawa (22/162).

Berdasarkan fatwa di atas, maka dapat kita pahami bahwa tidak sepatutnya seseorang melaksanakan shalat di tempat yang padanya dilakukan dosa-dosa besar, baik berupa ibadah kepada selain Allah, kebid’ahan yang besar, ataupun kemaksiatan yang berdosa besar. Apabila rumah atau tempat tersebut sudah tidak lagi dijadikan sebagai tempat yang demikian dan bekas-bekasnya sudah dihilangkan, maka insya Allah tidak mengapa untuk shalat di sana.

Adapun jika seseorang terpaksa untuk melakukan shalat di sana karena sesuatu sebab yang tidak bisa atau tidak mungkin dihindari, maka dia harus memilih tempat atau ruangan yang suci dan terpisah dari tempat dosa-dosa besar tersebut dilakukan. Wallahul musta'an. Demikian makna dari fatwa Syaikh Ar Rajihi hafizhahullah ta'ala tentang shalat di tempat maksiat. Lihat Fatawa Asy Syaikh Ar Rajihi (1/62). Wallahu a’lamu bish showab.

---------------------------------

ISYKAL :

Telah diketahui di dalam Islam tentang larangan menyembelih untuk Allah di tempat yang (pernah) digunakan untuk menyembelih kepada selain Allah kakrena hal ini berpotensi untuk mengagungkan tempat tersebut dengan perbuatannya meskipun dia tidak bermaksud demikian dan melakukannya dengan ikhlas kepada Allah. Sementara itu, kita juga telah mengetahui bahwa sebagian sahabat Nabi radhiallahu ‘anhum pernah melakukan shalat di dalam gereja, seperti Umar ibnul Khaththab, Abdullah bin Abbas, dll.

Pertanyaannya adalah: bukankah perbuatan sahabat tersebut serupa dengan shalat di masjid dhirar (mesjid yang dibangun untuk memecah belah persatuan kaum muslimin) atau menyembelih di tempat yang pernah digunakan untuk menyembelih kepada selain Allah? Kalau begitu mengapa para sahabat tetap melaksanakan shalat di dalam gereja?

Isykal ini telah dijawab oleh Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah di dalam kitab At Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid (1/205): “Sanggahan ini tidaklah tepat. Hal itu karena larangan Nabi صلى الله عليه وسلم dari shalat di mesjid dhirar dan dari menyembelih untuk Allah di tempat yang pernah digunakan untuk menyembelih kepada selain Allah adalah tidak lain karena bentuk ibadahnya yang sama. Bentuk penyembelihan dari seorang yang bertauhid dan dari seorang yang musyrik adalah sama, yaitu (sama-sama) menggerakkan pisau yang merupakan alat untuk menyembelih ke bagian dari tubuh hewan yang ingin disembelih, lalu menumpahkan darahnya di tempat tersebut. Jadi bentuk perbuatan yang terjadi dari seorang yang bertauhid dan dari seorang musyrik adalah sama. Oleh karena ini, tidak dapat dibedakan antara kedua bentuk secara zhahir, meskipun maksud dari keduanya adalah berbeda. Demikian pula dengan shalatnya Nabi صلى الله عليه وسلم dan para sahabat di masjid dhirar, (jika dilakukan maka) padanya terdapat persamaan dari segi bentuk dengan shalat kaum munafik.

Perbedaan (jenis dari kedua amalan) kembali kepada perbedaan yang ada di hati, sedangkan niat dan maksud hati adalah perkara yang tersembunyi dari manusia. Oleh karena ini, terjadilah kerusakan dari segi kemiripan bentuk secara zhahir, dan (perbedaan antara keduanya) tidak akan terjadi dengan perbuatan tersebut walaupun diiringi dengan niat yang ikhlas lagi baik.

Adapun shalat di dalam gereja, maka bentuk perbuatannya adalah berbeda, karena shalat kaum Nasrani tidak seperti cara dan bentuk (shalat) kaum muslimin. Orang yang melihat seorang muslim melaksanakan shalat pasti mengetahui bahwa dia tidak sedang melaksanakan shalat kaum Nasrani. Maka perbuatannya itu tidaklah meniru shalat kaum Nasrani dan menyamai mereka dalam hal itu. Inilah perbedaan antara dua permasalahan tersebut, dan ini adalah jelas (meskipun) dengan sedikit perhatian saja.” Demikian makna perkataan Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafidzhahullah.

وبالله التوفيق