بسم الله الرحمن الرحيم
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam Al Qur`anul Karim:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى
يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (kematian).” [QS Al Hijr: 99]
Di dalam ayat ini, yang perlu menjadi perhatian kita adalah pada kata الْيَقِينُ karena ada sebagian kelompok menyimpang (sufi) yang menafsirkan lafazh ini tidak dengan makna yang benar, lalu mereka menjadikan ayat ini sebagai hujjah untuk membenarkan penyimpangan aqidah mereka. Mereka menafsirkan lafazh الْيَقِينُ dengan makna ma’rifat. Ma’rifat adalah derajat tertinggi di dalam tingkatan seorang hamba menurut kelompok sufi ini.
Mereka menginginkan dengan makna ini bahwa orang yang sudah mencapai derajat ma’rifah maka berarti dia telah mencapai tingkat keyakinan yang sempurna terhadap Allah dan syariat-Nya sehingga tidak wajib lagi bagi dia untuk menjalankan syariat dan ibadah.
Keyakinan seperti ini adalah keyakinan kufur, sesat, dan jahil sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah. Para nabi dan rasul ‘alaihimus salam yang mereka itu adalah orang-orang yang paling mengenal Allah, paling mengetahui hak-hak-Nya, paling banyak beribadah kepada-Nya, dan paling banyak melakukan kebaikan, mereka tidak pernah sekalipun berhenti menjalankan syariat Allah ta’ala sampai mereka wafat.
Allah ta’ala berfirman mengabarkan tentang ucapan Nabi Isa صلى الله عليه وسلم kepada kaumnya:
وَأَوْصَانِي
بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
“dan Dia (Allah) memerintahkanku untuk (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” [QS Maryam: 31]
Lantas apakah makna yang benar dari lafazh الْيَقِينُ ? Makna yang benar dari lafazh ini adalah kematian. Maknanya, beribadahlah engkau hanya kepada Allah ta’ala sesuai dengan kemampuanmu dan jangan pernah meninggalkannya sampai kematian mendatangimu.
Dalil yang mendukung makna ini adalah firman Allah ta’ala yang menceritakan tentang ucapan penduduk neraka:
قَالُوا
لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43) وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ (44)
وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ (45) وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ
(46) حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ
“Mereka (penduduk neraka) menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, kami membicarakan yang bathil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan hingga datang kepada kami kematian.” [QS Al Mudatstsir: 43-47]
Di dalam ayat ini الْيَقِينُ bermakna kematian.
Dalil lainnya yang menunjukkan penggunaan kata الْيَقِينُ untuk makna kematian adalah sebuah hadits yang menceritakan kisah kematian seorang sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم yang bernama Utsman bin Mazh’un radhiallahu ‘anhu. Di antara ucapan Nabi صلى الله عليه وسلم adalah:
أَمَّا
هُوَ فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ. وَاللَّهِ، إِنِّي لَأَرْجُو لَهُ الْخَيْرَ
“Adapun dia (Utsman bin Mazh’un), maka sungguh telah datang kepadanya kematian. Demi Allah, sesungguhnya saya sangat mengharapkan dia mendapatkan kebaikan.” [HR Al Bukhari (1243)]
Di dalam hadits ini الْيَقِينُ bermakna kematian.
Salim bin Abdillah bin Umar berkata menerangkan makna kata الْيَقِينُ dalam ayat 99 surat Al Hijr: “Kematian.” Atsar ini diriwatkan oleh Ibnu Jarir secara maushul di dalam tafsirnya dan disebutkan oleh Al Bukhari secara mu’allaq di dalam kitab Shahih-nya. Ini juga merupakan pendapatnya Mujahid, Al Hasan Al Bashri, Qatadah, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dll.
Pertanyaan yang mungkin timbul di sini adalah kenapa kematian dinamakan dengan keyakinan (الْيَقِينُ) ? Bukankah arti dari kata yakin adalah mengetahui hakikat dari sesuatu secara pasti? Jawabannya adalah karena ketika seseorang mengalami kematian maka barulah tampak bagi dia hakikat dari kematian itu secara yakin. Demikian perkataan Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah di dalam kitab Adhwa`ul Bayan pada tafsir ayat 99 surat Al Hijr.
والحمد
لله رب العالمين
Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Tafsir Ibnu Katsir dan kitab tafsir Adhwa`ul Bayan.