Pages

Adab-Adab Penghafal Al Qur`an

بسم الله الرحمن الرحيم

Setelah pada tulisan pertama dan kedua kami telah menyampaikan adab-adab seorang pengajar dan pelajar Al Qur`an, maka pada tulisan kali ini, kami akan menyampaikan beberapa adab bagi seorang penghafal Al Qur`an. Adab-adab ini merupakan ringkasan dari kitab At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an karya Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawi rahimahullah dengan perubahan seperlunya yang tidak sampai mengubah makna yang diinginkan penulis, insya Allah.

Sebagian adab-adabnya telah disebutkan pada bab yang sebelum ini (pertama dan kedua). Di antara adab-adabnya yang lain adalah:

PERTAMA: Memiliki kepribadian yang mulia dan menjauhkan dirinya dari segala apa yang dilarang oleh Al Qur`an sebagai bentuk pemuliaan terhadapnya. Menjaga diri dari pekerjaan yang rendah, berjiwa mulia, menjauhi para pencari dunia yang bersikap angkuh dan kasar, rendah hati terhadap orang-orang shalih, orang-orang baik, dan kaum miskin, serta bersikap khusyuk dan tenang.

Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata: “Wahai para penghafal Al Qur`an, tegakkanlah kepala kalian karena sesungguhnya jalan (kebenaran) telah jelas bagi kalian, berlombalah di dalam kebaikan, dan janganlah kalian bergantung kepada manusia.”

Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian melihat Al Qur`an sebagai risalah dari Rabb mereka. Oleh karena itu, mereka men-tadabburinya di malam hari dan mengamalkannya di siang hari.”

Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Sepatutnya para penghafal Al Qur`an tidak memiliki kebutuhan apapun kepada para penguasa dan orang-orang yang di bawah mereka.”

Dia juga berkata: “Orang yang membawa Al Qur`an adalah pembawa bendera Islam. Tidak sepantasnya dia bermain-main bersama orang yang bermain-main, lalai bersama orang yang lalai, dan berbicara yang tidak baik bersama orang yang berbicara tidak baik, sebagai bentuk pengagungan terhadap hak Al Qur`an.”

KEDUA: Tidak menjadikan Al Qur`an sebagai sumber penghasilan. Dari Abdurrahman bin Syibl radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ، وَلَا تَأْكُلُوا بِهِ، وَلَا تَجْفُوا عَنْهُ، وَلَا تَغْلُوا فِيهِ

“Bacalah Al Qur`an. Janganlah kalian (mencari) makan dengannya, janganlah kalian menjauhinya, dan jangan pula kalian bersikap berlebihan terhadapnya.” [HR Ahmad (3/428). Hadits shahih.]

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi صلى الله عليه وسلم :

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَ قَوْمٌ يُقِيمُونَهُ إِقَامَةَ الْقَدَحِ، يَتَعَجَّلُونَهُ وَلَا يَتَأَجَّلُونَهُ

“Bacalah Al Qur`an sebelum muncul suatu kaum yang menegakkannya seperti menegakkan gelas, mereka menyegerakan (ganjaran)nya (di dunia) dan tidak mau menundanya.” [HR Abu Daud (830). Hadits shahih.]

Maknanya: mereka menyegerakan ganjarannya, baik dalam bentuk harta, sum’ah, ataupun yang sejenisnya.

Saya (peringkas) katakan: Makna “menegakkannya” adalah mereka berusaha membaguskan lafazh-lafazh dan kalimat-kalimatnya dan membebani diri-diri mereka di dalam memperhatikan makhraj-makhraj dan sifat-sifat huruf. Adapun makna “seperti menegakkan gelas” adalah mereka berusaha menyempurnakan bacaan secara berlebihan dengan tujuan riya`, sum’ah, berbangga diri, dan mencari ketenaran. Demikian disimpulkan dari kitab ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (3/42).

Adapun tentang hukum mengambil upah dari mengajar Al Qur`an, ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama: tidak boleh mengambil upah darinya. Ini adalah pendapat Az Zuhri dan Abu Hanifah. Pendapat kedua: boleh mengambil upah jika tidak mensyaratkannya. Ini adalah pendapat Al Hasan Al Bashri, Asy Sya’bi, dan Ibnu Sirin. Pendapat ketiga: Boleh mengambil upah meskipun dia mensyaratkannya, sepanjang dia melakukannya dengan alasan dan cara yang benar. Ini adalah pendapat ‘Atha`, Malik, dan Asy Syafi’i.

KETIGA: Hendaklah dia menjaga kebiasaan membaca Al Qur`an dan banyak membacanya. Para salaf radhiallahu ‘anhum memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam lama waktu mengkhatamkan bacaan Al Qur`an.

Akan tetapi hal ini berbeda-beda menurut keadaan seseorang. Barangsiapa yang hanya bisa memahami Al Qur`an dengan pemikiran yang mendalam, maka hendaknya dia membatasi bacaannya sesuai dengan batas pemahamannya. Begitu pula bagi orang yang disibukkan dengan menyebarkan ilmu atau urusan agama yang lainnya dan kepentingan kaum muslimin secara umum maka hendaklah dia membatasinya sebatas tidak sampai menerlantarkan tugasnya. Adapun jika dia bukan termasuk golongan yang tersebut di atas, hendaklah dia memperbanyak bacaannya sepanjang tidak menimbulkan kejenuhan atau terburu-buru.

Sebagian ulama terdahulu tidak menyukai mengkhatamkan Al Qur`an dalam waktu satu hari dan satu malam berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَا يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي أَقَلِّ مِنْ ثَلَاثٍ

“Orang yang membaca (menamatkan) Al Qur`an dalam waktu kurang dari tiga hari tidaklah dapat memahaminya.” [HR Abu Daud (1394). Hadits shahih.]

KEEMPAT: Hendaklah dia lebih banyak membaca Al Qur`an di malam hari dan terlebih utama lagi di shalat malam. Alasannya adalah karena pada waktu itu lebih mudah bagi hati untuk berkonsentrasi, jauh dari berbagai hal yang menyibukkan dan melalaikan, lebih terjaga dari timbulnya riya`.

KELIMA: Hendaklah dia menjaga hafalan Al Qur`annya dan jangan sampai melupakannya. Telah diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu dari Nabi صلى الله عليه وسلم , beliau bersabda:

تَعَاهَدُوا هَذَا الْقُرْآنَ. فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الْإِبِلِ فِي عُقُلِهَا

“Jagalah Al Qur`an ini. Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh ia lebih mudah lepas daripada unta yang berada di dalam tali kekangnya.” [HR Al Bukhari (5033) dan Muslim (791)]

Demikianlah beberapa adab bagi penghafal Al Qur`an yang disebutkan oleh Imam An Nawawi rahimahullah. Adapun adab-adab bagi pengajar Al Qur`an silakan membacanya di sini dan adab-adab bagi pelajar Al Qur`an silakan membacanya di sini.

والحمد لله رب العالمين