Pages

Hukum Wanita Haid Membaca Al Qur`an

بسم الله الرحمن الرحيم

Para ulama berselisih tentang hukum membaca Al Qur`an bagi seorang wanita yang tengah mengalami haid. Ada yang mengatakan tidak boleh dan ada yang mengatakan boleh.

Pendapat yang mengatakan tidak boleh didukung oleh Umar ibnul Khaththab, Ali bin Abi thalib, Jabir bin Abdillah, Al Hasan Al Bashri, Qatadah, dll. Adapun Abu Hanifah, Malik, As Syafi’i, dan Ahmad terdapat dua riwayat yang berbeda tentang pendapat mereka. Pendapat kedua yang menyatakan boleh didukung oleh Ibnu Abbas, Sa’id ibnul Musayyab, Al Bukhari, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam ibnu Taimiyah, dan riwayat yang lain dari Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad.

DALIL KELOMPOK PERTAMA

1. Hadits Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

لاَ يَقْرَأْ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ الْقُرْآنَ

“Orang junub dan haid tidak boleh membaca Al Qur`an.” [HR At Tirmidzi (131) dan Ibnu Majah (595)]

Hadits ini adalah hadits dha’if (lemah). Di dalamnya terdapat beberapa ‘illah (cacat), salah satunya adalah karena di sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Al Hasan bin Arafah. Dia dikenal sebagai seseorang yang suka mencuri sanad hadits, menggabungkannya dengan sanad yang lain, merafa’kan yang mauquf, menyambung yang mursal, dan menambah-nambah sanad sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Adi di kitab Al Kamil (4/1390-1391).

Selain itu di sanadnya juga terdapat perawi yang bernama Ismail bin Ayyasy. Riwayatnya dianggap lemah bila meriwayatkan hadits dari penduduk Hijaz dan Iraq sebagaimana dikatakan oleh Al Bukhari, Al Baihaqi, Ibnu Hajar, dll.

Selain itu, hadits ini sebenarnya bukanlah perkataan Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Ia sebenarnya merupakan perkataan dari Ibnu Umar (mauquf) sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abi Hatim di kitab “Al ‘Ilal” (1/49) dan Ahmad sebagaimana tersebut di kitab “Adh Dhu’afa” karya Al ‘Uqaili (1/90).

Hadits ini juga memiliki jalur-jalur periwayatan yang lain namun semuanya lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga melemahkan hadits ini sebagaimana di “Majmu’ul Fatawa” (26/191).

2. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَّكِئُ فِي حَجْرِي وَأَنَا حَائِضٌ ثُمَّ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ

"Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersandar di pangkuanku dan aku dalam keadaan haid, lantas beliau membaca Al Qur`an." [HR Al Bukhari (297) dan Muslim (301)]

Sisi pendalilan mereka dari hadits ini adalah Aisyah pada saat itu tidak membaca Al Qur`an dikarenakan sedang mengalami haid.

Bantahan atas penafsiran ini adalah bahwa hadits di atas tidak secara jelas menerangkan larangan membaca Al Qur`an bagi wanita haid. Justru faidah yang terkandung di dalam hadits itu adalah seorang wanita haid itu anggota tubuhnya adalah suci dan tidak najis selama tidak terkena darah haid sehingga boleh bagi untuk melakukan berbagai aktifitas termasuk membaca Al Qur’an.

3. Atsar Abuz Zubair, dia bertanya kepada Jabir bin Abdillah tentang wanita haid dan nifas bolehkah membaca Al Qur`an? Jabir menjawab: “Tidak boleh.” [HR Ibnul Mundzir (2/97) dan Ad Daraquthni (1/121)]

Bantahan terhadap atsar ini dari dua sisi. Pertama, atsar ini lemah sanadnya disebabkan adanya seorang perawi yang bernama Yahya bin Abi Unaisah. Dia adalah seorang perawi yang lemah. Kedua, pendapat beliau -dan para sahabat serta para ulama lainnya- dalam hal ini adalah ijtihad dari mereka dan bukan merupakan dalil sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum.

DALIL KELOMPOK KEDUA

1. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata:

كان النبي صلى الله عليه وسلم يذكر الله على كل أحيانه

"Nabi صلى الله عليه وسلم senantiasa berzikir kepada Allah di setiap waktunya." [HR Muslim (373)]

Sisi pendalilan dari hadits ini adalah di antara bentuk-bentuk zikir adalah membaca Al Qur`an. Apabila Nabi صلى الله عليه وسلم senantiasa berzikir mengingat Allah ta’ala dalam segala keadaan maka hal inipun tentunya boleh dilakukan oleh umatnya dalam segala keadaan termasuk junub dan haid.

2. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَّكِئُ فِي حَجْرِي وَأَنَا حَائِضٌ ثُمَّ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ

"Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersandar di pangkuanku dan aku dalam keadaan haid, lantas beliau membaca Al Qur`an." [HR Al Bukhari (297) dan Muslim (301)]

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa faidah yang terkandung di dalam hadits itu adalah seorang wanita haid itu anggota tubuhnya adalah suci dan tidak najis selama tidak terkena darah haid sehingga boleh bagi untuk melakukan berbagai aktifitas termasuk membaca Al Qur’an. Sulaiman bin Muzhaffar Abu Daud Al Jili berkata di dalam kitabnya “Al Ikmal”: “Di dalam hadits ini terdapat dalil atas bolehnya ia (wanita haid) untuk membaca Al Qur`an pada masa haidnya.” Demikian pula ini adalah pendapatnya Imam Al Bukhari rahimahullahu ta’ala.

3. Hadits Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم masuk menemuinya ketika dia sedang mengalami haid di daerah Sarif sebelum masuk Mekkah. Dia sedang dalam keadaan menangis. Nabi bertanya: “Ada apa denganmu? Apakah engkau haid?” Aisyah menjawab: “Ya.” Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَاقْضِي مَا يَقْضِي الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ

“Sesungguhnya ini (haid) adalah suatu hal yang telah ditetapkan oleh Allah terhadap anak-anak perempuan Adam. Laksanakan segala perkara yang dilakukan oleh orang yang berhaji, namun janganlah engkau melakukan thawaf di Ka’bah.” [HR Al Bukhari (294) dan Muslim (1211)]

Sisi pendalilan dari hadits di atas adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Bathal dan dinukilkan oleh Ibnu Hajar di dalam “Fathul Bari” (1/536) bahwa tujuan Imam Al Bukhari menyebutkan hadits ini adalah untuk berdalil dengannya tentang bolehnya seorang wanita yang sedang haid untuk membaca Al Qur`an dari sisi karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak melarang Aisyah yang sedang haid untuk melakukan seluruh amalan haji (zikir, talbiah, doa, dll) kecuali thawaf saja dikarenakan thawaf dianggap seperti shalat dalam bentuk khusus.

4. Karena tidak ada dalil yang shahih atau jelas dan tegas yang mengharamkan seorang wanita haid untuk membaca Al Qur`an maka hukum yang berkaitan dengan masalah ini harus dikembalikan kepada keadaan asalnya, atau yang lebih dikenal dengan istilah Al Baroatul Ashliyyah.

Dalil-dalil yang shahih secara umum menyatakan bahwa seorang muslim itu haruslah berzikir mengingat Allah dalam setiap keadaan baik dalam keadaan berdiri, duduk, tidur, sehat, sakit, senang, sedih, lapang, sempit, dan lain sebagainya. Begitupula termasuk dalam hal ini keadaan junub dan haid. Kecuali shalat, tidak boleh dilakukan dikarenakan adanya dalil yang benar-benar jelas dan tegas yang melarang orang junub atau haid untuk melakukannya.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata sebagaimana di “Majmu’ul Fatawa” (21/259): “Telah maklum bahwasanya para wanita juga mengalami haid pada masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم namun mereka tidak dilarang dari membaca Al Qur`an, sebagaimana mereka tidak dilarang dari zikir dan doa. Bahkan beliau memerintahkan para wanita haid untuk keluar pada hari raya untuk bertakbir seperti takbirnya kaum muslimin. Beliau juga memerintahkan wanita haid untuk melaksanakan manasik haji seluruhnya kecuali thawaf di Ka’bah.”

KESIMPULAN

Berdasarkan pengamatan dalil-dalil yang dikemukakan oleh kedua belah pihak maka tampaklah dengan jelas bahwasanya dalil-dalil yang digunakan oleh kelompok pertama tidaklah bisa dijadikan sebagai hujjah untuk melarang wanita haid untuk membaca Al Qur`an.

Dikarenakan tidak adanya dalil yang shahih atau dengan jelas melarang dari perkara ini, maka diperbolehkan bagi seorang wanita haid untuk berzikir mengingat Allah di setiap waktunya termasuk dalam hal ini adalah membaca Al Qur`an berdasarkan keumuman dalil yang menganjurkan kita untuk senantiasa beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lamu bish shawab.

والحمد لله رب العالمين

Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Al Faidh karangan Syaikh Abu Abdirrahman Abdullah bin Ahmad Al Iryani hafizhahullah ta’ala.