Pages

Seputar Penggunaan Kata "Kalau" dan yang Sejenisnya

بسم الله الرحمن الرحيم

Di dalam kehidupan sehari-hari, kita sering sekali menggunakan kata kalau, jika, atau seandainya di dalam percakapan dan tulisan. Penggunaan kata-kata ini telah diatur di dalam syariat Islam karena terkadang penggunaan kata-kata ini ada yang dibenarkan menurut syariat, dan terkadang ada pula yang dilarang . Di dalam tulisan ini, kita akan coba membahas kapan kata-kata ini boleh digunakan dan kapan pula ia tidak boleh digunakan.

Di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز وإن أصابك شيء فلا تقل لو أني فعلت كان كذا وكذا ولكن قل قدر الله وما شاء فعل فإن لو تفتح عمل الشيطان

“Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah lemah. Apabila sesuatu menimpamu, maka jangan katakan: “Kalau saya melakukan ini, maka pastilah akan begini dan begini.” Akan tetapi katakanlah: “Semua telah ditakdirkan oleh Allah, dan apa yang Dia kehendaki pastilah Dia melakukannya.” karena kata “kalau” bisa membuka pintu amalan syaitan.” [HR Muslim (2664)]

Di dalam hadits di atas Rasulullah صلى الله عليه وسلم  melarang umatnya ketika tertimpa cobaan atau musibah untuk mengatakan: “Kalau saya melakukan itu, pastilah akan terjadi begini dan begini.” Ataupun mengatakan: “Kalau saya tidak melakukan ini, pastilah tidak akan terjadi begini dan begini.” Sebab larangan ini adalah karena ucapan-ucapan ini bisa membuka pintu amalan syaitan.

Disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah bahwa yang dimaksud dengan amalan syaitan adalah perasaan yang dimunculkan olehnya terhadap manusia berupa kekesalan, penyesalan, dan kesedihan karena syaitan sangat menyenangi hal-hal tersebut. Allah berfirman:

إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syaitan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu tidaklah dapat memberikan mudharat sedikitpun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah.” [QS Al Mujadilah: 10]

Sebab yang lainnya kenapa ucapan seperti ini dilarang adalah karena ia mengandung unsur penentangan dan ketidakridhaan terhadap takdir Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa yang menentang dan tidak menerima takdir, maka itu sama artinya dengan tidak mengakui bahwa Allah itu adalah Rabb. Yang wajib dilakukan oleh seorang mukmin adalah beriman terhadap rububiyyah Allah dan menerima takdir Allah dengan penuh kerelaan dan kepasrahan, baik takdir itu baik maupun buruk. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

عجبا لأمر المؤمن إن أمره كله خير وليس ذاك لأحد إلا للمؤمن إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له

“Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya itu adalah baik, dan hal itu tidaklah terjadi pada siapapun juga kecuali pada seorang mukmin saja. Jika dia ditimpa kelapangan dia bersyukur, dan itu adalah lebih baik baginya; dan jika dia ditimpa kesempitan dia bersabar, dan itu adalah lebih baik baginya.” [HR Muslim (2999) dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu.]

Jenis-Jenis Penggunaan Kata “Kalau” dan yang Sejenisnya.

Meski demikian, sebenarnya penggunaan kata “kalau” di dalam kehidupan sehari-hari ada beberapa jenis, yaitu:

Pertama: Digunakan untuk menentang syariat. Ini hukumnya adalah haram. Contohnya adalah seperti apa yang disebutkan oleh Allah di dalam Al Quran mengenai ucapan kaum munafik yang tidak ikut berperang bersama kaum muslimin di perang Uhud:

الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh.” Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari diri kalian, jika kalian adalah orang-orang yang benar.” [QS Ali Imran: 168]

Kedua: Digunakan untuk menentang takdir. Ini hukumnya adalah haram juga. Contohnya adalah firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا وَقَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا فِي الْأَرْضِ أَوْ كَانُوا غُزًّى لَوْ كَانُوا عِنْدَنَا مَا مَاتُوا وَمَا قُتِلُوا

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka ketika mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: “Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” [QS Alu Imran: 156]

Maksud mereka adalah bahwa kalau kaum muslimin tidak ikut berperang bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم niscaya mereka tidak akan mati dan tidak terbunuh. Mereka mencoba untuk menentang takdir Allah bahwa hidup dan mati itu semua dengan takdir Allah, bukan karena ikut berperang.

Ketiga: Digunakan untuk mengungkapkan penyesalan dan kekesalan. Ini hukumnya adalah haram karena penyesalan dan kekesalan bisa menjadikan seorang mukmin itu sedih, lemah, dan tidak berdaya. Padahal Allah telah memerintahkan kita untuk selalu bersemangat dan berlapang dada.

Contohnya adalah seseorang membeli suatu barang dengan mengharapkan keuntungan, namun kenyataannya dia malah merugi. Lalu dia berkata: “Kalau aku tidak membeli barang ini, pastilah aku tidak akan mengalami kerugian.”

Keempat: Digunakan ketika beralasan dengan takdir untuk membela kemaksiatan yang dilakukannya. Seperti ucapan kaum musyrikin: “Kalau Allah menghendaki, pastilah kami tidak akan berbuat syirik.” [QS Al An’am: 148] dan ucapan mereka: “Kalau Ar Rahman menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah mereka.” [QS Az Zukhruf: 20]. Ini hukumnya adalah batil.

Kelima: Digunakan untuk harapan dan cita-cita. Ini hukumnya tergantung kepada apa yang diharapkan dan dicita-citakannya: jika berharap kebaikan maka hukumnya boleh dan jika berharap kejelekan maka hukumnya adalah terlarang.

Contoh yang boleh, seperti perkataan seseorang: “Kalau aku punya uang, maka aku akan bersedekah kepada fakir miskin.” Sedangkan contoh yang tidak boleh, misalnya: “Kalau aku punya uang, maka aku akan membeli bir.”

Keenam: Digunakan sekedar untuk mengabarkan suatu kejadian. Ini hukumnya adalah boleh. Contohnya: “Kalau aku hadir di kelas, maka aku akan mendapatkan faidah.” Atau: “Kalau aku pergi ke pantai, maka aku sangatlah gembira.”

Demikianlah sedikit pembahasan seputar penggunaan kata “kalau” dan yang sejenisnya beserta hukum-hukumnya. Semoga bermanfaat.

والحمد لله رب العالمين

Disadur dengan perubahan seperlunya dari Syarh Kitabut Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah.