Pages

Bisakah Anak Jadi Wali Nikah Ibunya?

بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan:

Bismillah. Afwan, apakah anak bisa menjadi menjadi wali dari pernikahan ibunya? Jazakallahu khaira.

Jawaban:

Seorang anak bisa menjadi wali bagi pernikahan ibunya dengan beberapa syarat berikut, yaitu:

1. Tidak ada wali yang lebih berhak dari anak tersebut, yaitu bapak dan kakek dari ibunya. Ketiadaan ini dapat disebabkan karena adanya halangan untuk hadir ataupun karena mereka berdua telah meninggal dunia.

2. Anak itu haruslah berakal sehat. Oleh karena itu, tidaklah diterima perwalian dari anak kecil yang belum berakal, orang gila, orang tua yang sudah pikun, dan orang yang cacat pikirannya.

3. Anak itu haruslah beragama Islam. Sebabnya adalah karena perwalian orang kafir terhadap orang muslim tidak diterima. Ini merupakan ijma’ dari para ulama. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

“Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” [QS At Taubah: 71]

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” [QS Alu ‘Imran: 28]

4. Anak itu haruslah telah mencapai batasan baligh. Apabila dia belum mencapai batasan baligh, maka perwaliannya tidaklah diterima.

Seseorang telah dikatakan baligh adalah apabila telah didapati padanya tiga tanda berikut ini:

a. Telah genap berusia lima belas tahun.
b. Telah tumbuh rambut kasar pada kemaluan depan.
c. Telah keluar mani, baik ketika terjaga maupun ketika tidur, yang disebabkan oleh syahwat.

5. Anak itu haruslah berjenis kelamin laki-laki. Jika anak itu berjenis kelamin perempuan, maka tidaklah diterima perwaliannya.

Demikianlah beberapa syarat seorang anak itu bisa menjadi wali nikah bagi pernikahan ibunya. Wallahu a’lam.

والحمد لله رب العالمين

Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Syarh Bulughul Maram karya Syaikh Muhammad bin Hizam hafizhahullah dan kitab Syarhul Mumti’ karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah.