Pages

Takdir Bukanlah Alasan untuk Berbuat Maksiat

بسم الله الرحمن الرحيم

Ada sebagian orang yang melakukan kemaksiatan, kejahatan, kebid’ahan, dan kekufuran dengan alasan bahwa dia sudah ditakdirkan oleh Allah untuk melakukannya. Seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa dia tidak berhak untuk dihukum karena dia melakukan ini bukan karena kehendaknya. Dia ingin melegalkan hawa nafsunya untuk melakukan pelanggaran hukum dengan berdalih kepada takdir.

Alasan ini adalah alasan yang batil dan tidak dapat diterima. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah, di dalam kitab Syarh Ushulits Tsalatsah, telah membantah alasan seperti ini dari beberapa sisi, dan akan kita nukilkan di sini secara ringkas.

Bantahan Pertama:

Allah ta’ala telah mendustakan orang-orang yang berbuat kesyirikan dengan alasan takdir dan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih. Ini menunjukkan bahwa apa yang mereka dalihkan selama ini adalah salah. Allah berfirman:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

“Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak akan mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami akan mengharamkan sesuatu apapun (tanpa dalil).” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kalian mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kalian mengemukakannya kepada kami? Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kalian tidak lain hanyalah berdusta.” [QS Al An’am: 148]

Kalau seandainya beralasan dengan takdir untuk melakukan kemaksiatan adalah boleh, maka tidaklah mungkin Allah mengatakan mereka berdusta dan menghukum mereka.

Bantahan Kedua:

Allah telah mengutus para rasul untuk menyampaikan syariat kepada umat mereka agar tidak ada alasan bagi manusia untuk meninggalkan perintah Allah dan melaksanakan larangan-Nya. Allah ta’ala berfirman:

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya para rasul itu. Allah adalah ‘Aziz (Maha Perkasa) lagi Hakim (Maha Bijaksana).” [QS An Nisa`: 165]

Kalau seandainya beralasan dengan takdir untuk melakukan kemaksiatan adalah boleh, maka apa gunanya Allah mengutus para rasul untuk membawa syariat-Nya. Tentunya tidak ada gunanya karena mereka dapat beralasan dengan takdir.

Bantahan Ketiga:

Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang kita untuk meninggalkan amalan (sebab) dan berpangku tangan dengan takdir. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَمَقْعَدُهُ مِنْ النَّارِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ فَقَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ ثُمَّ قَرَأَ {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى} إِلَى قَوْلِهِ {لِلْعُسْرَى}

“Tidaklah salah seorang dari kalian melainkan telah ditentukan tempat duduknya di surga ataupun di neraka.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, tidakkah kita cukup bertawakkal saja?” Nabi menjawab: “Beramallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan jalannya.” Kemudian Nabi membaca ayat {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى} sampai kepada {لِلْعُسْرَى}.” [HR Al Bukhari (4945)]

Bantahan Keempat:

Takdir Allah itu adalah rahasia tersembunyi yang tidak diketahui melainkan setelah peristiwa yang ditakdirkan itu terjadi, sedangkan kehendak hamba itu telah ada sebelum perbuatan terjadi. Ini berarti bahwa kehendak untuk melakukan suatu perbuatan tidaklah didasarkan pengetahuan dia terhadap takdir Allah. Dengan ini, maka tertolaklah alasannya dengan takdir, karena sesuatu yang tidak diketahui oleh seseorang tidaklah bisa menjadi hujjah baginya.

Bantahan Kelima:

Kita menyaksikan manusia bersemangat untuk mengejar perkara duniawi yang bermanfaat bagi dirinya sampai berhasil mendapatkannya. Bila dia tidak mendapatkan apa yang dikejarnya tersebut, dia tidak beralasan dengan takdir. Lantas mengapa dia meninggalkan perkara-perkara agama yang bermanfaat baginya dan berpaling kepada perkara-perkara yang membahayakannya, kemudian beralasan dengan takdir?! Bukankah kedua kondisi di atas adalah sama?

Bantahan Keenam:

Orang yang beralasan dengan takdir untuk meninggalkan kewajiban atau melakukan kemaksiatan, bila dia dianiaya oleh orang lain dengan mengambil hartanya atau melecehkan kehormatannya, lalu orang itu beralasan bahwa dia melakukannya karena sudah ditakdirkan Allah, maka pastilah dia tidak akan menerima alasan dari si penjahat tadi.

Ini tentunya sangat berlawanan dan aneh. Di satu sisi dia menolak alasan orang yang mencuri hartanya karena takdir, namun di sisi lain dia malah beralasan dengan takdir ketika dia melakukan kemaksiatan. Lantas apa bedanya dia dengan si pencuri tadi?

Disebutkan di sebuah riwayat bahwa Amirul Mu`minin Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu memerintahkan petugas untuk memotong tangan seorang pencuri. Lalu pencuri itu berkata: “Tunggu dulu, wahai Amirul Mu`minin. Sesungguhnya saya mencuri itu karena memang sudah takdir dari Allah.” Lalu Umar membalas alasan si pencuri tadi dengan berkata: “Kamipun akan memotong tanganmu karena ditakdirkan oleh Allah.”

Demikianlah beberapa bantahan terhadap orang-orang yang menjadikan takdir sebagai alasan untuk melakukan kemaksiatan atau meninggalkan kewajiban. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kaum muslimin dan memperbaiki keadaan mereka. Amin Ya rabbal ‘alamin.

والحمد لله رب العالمين