Pages

Hukum Anak Angkat dalam Islam

بسم الله الرحمن الرحيم

Banyak kita jumpai di kalangan keluarga yang mengangkat seseorang sebagai anak atau yang diistilahkan sebagai anak angkat. Konsekuensinya adalah anak angkat tersebut diperlakukan seperti anak sendiri dari berbagai sisi, di antaranya adalah menganggapnya seperti mahram (anak kandung)  yang bebas bercampur (khalwat dan ikhtilath) dengan kedua orang tua, bepergian dengan mereka, bahkan sampai kepada menampakkan bagian tubuh tertentu kepada mereka.

Ketahuilah bahwa Islam sebenarnya tidak mengakui pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (4) ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ

“Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian (sendiri). Yang demikian itu (menganggap mereka sebagai anak) hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian.” [QS Al Ahzab: 4-5]

Ayat di atas turun berkenaan dengan Zaid bin Haritsah yang diangkat menjadi anak oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم sejak sebelum beliau diangkat menjadi seorang nabi sehingga dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Setelah ayat ini turun, maka Zaid tidak lagi dinasabkan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم , melainkan dinasabkan kembali kepada ayah kandungnya yaitu Haritsah.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsir ayat ini: “Ini adalah perintah yang menghapus perkara di masa permulaan Islam mengenai bolehnya menganggap anak orang lain sebagai anak sendiri yaitu anak angkat. Allah ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan nasab mereka kepada bapak-bapak kandung mereka, dan ini adalah suatu keadilan.” Demikian kalam Ibnu Katsir.

Hal ini didukung oleh firman Allah ta’ala yang lain:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah ayah dari seorang laki-laki di antara kalian, akan tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” [QS Al Ahzab: 40]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ (yang demikian itu (menganggap mereka sebagai anak) hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja) maksudnya perbuatan kalian menganggap mereka sebagai anak adalah ucapan yang tidak memberikan konsekuensi dia menjadi anak yang sebenarnya karena seseungguhnya dia diciptakan dari keturunan lelaki lain. Maka tidaklah mungkin dia memiliki dua orang ayah sebagaimana tidak mungkin seorang manusia memiliki dua hati.”

Dari pembahasan di atas dapat kita ketahui bahwa menjadikan anak orang lain sebagai anak sendiri, atau yang diistilahkan dengan anak angkat, tidaklah diperbolehkan di dalam Islam. Apabila hal ini terlanjur terjadi, maka orang tua yang mengangkatnya tidak boleh menasabkannya kepada mereka dan harus memperlakukannya sebagai anak orang lain sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang berlaku.

FAIDAH:

Berkaitan dengan permasalahan ini, ada dua hal yang kami rasa perlu untuk disampaikan:

1. Menggunakan panggilan “anak” atau “nak” kepada anak orang lain sebagai bentuk memuliakan dan kasih sayang terhadapnya hukumnya adalah diperbolehkan di dalam Islam.

Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بُنَيَّ

“Rasulullah صلى الله عليه وسلم memanggilku: “Wahai anakku.” [HR Muslim (2151)]

Di dalam hadits yang lain dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

أُبَيْنَيَّ، لا ترموا الجمرة حتى تطلع الشمس

“Wahai anakku, janganlah kalian melempar jamrah sampai matahari terbit.” [HR Abu Daud (1940). Hadits shahih.]

Silakan melihat tafsir Ibnu Katsir pada tafsir ayat kelima dari surat Al Ahzab.

2. Larangan di dalam ayat 4-5 dari surat Al Ahzab untuk memperlakukan anak orang lain seperti memperlakukan anak sendiri dalam hal percampuran (khalwat dan ikhtilath) dan menampakkan aurat kepada mahram dikecualikan jika anak orang lain tersebut adalah anak susuannya. Alasannya adalah karena anak susuan memiliki perlakukan yang sama  dalam hal tersebut dengan anak kandung.

Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

يَحْرُمُ مِنَ الرّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النّسَبِ

“Penyusuan mengharamkan apa yang diharamkan oleh nasab.” [HR Al Bukhari (5099) dan Muslim (1445)]

Akan tetapi perlu diingat bahwa meskipun demikian, anak susuan tersebut tetap tidak boleh dinasabkan sebagai anak kandung dari si ibu susuan sebagaimana pembahasan di atas.

والحمد لله رب العالمين