Pages

Ketika Ghibah Diperbolehkan

بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan:

Ustadz, ana mau bertanya. Jika ana membicarakan sifat jelek yang ada pada seseorang yang dapat merugikan orang lain, dan ana memberi tahu kepada orang lain agar dia berhati-hati terhadap sifat jelek orang tersebut dengan bukti nyata dari kejadian yang sudah ana alami sendiri, apa hukumnya perbuatan ini?

Jawaban:

Di dalam Islam, membicarakan kejelekan orang lain hukum dasarnya adalah haram. Perbuatan ini digolongkan kepada ghibah. Silakan melihat pembahasan khusus tentang haramnya ghibah di tautan ini.

Akan tetapi, syariat memberikan pengecualian dalam masalah ini. Ada beberapa kondisi yang membolehkan seseorang untuk membicarakan kejelekan seorang muslim yang lain. Kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama: Mengadukan perbuatan zhalim (tazhallum).

Diperbolehkan bagi seseorang yang dizhalimi oleh orang lain untuk menceritakan perbuatan zhalimnya itu kepada orang atau pihak yang memiliki kewenangan untuk menangani hal tersebut.

Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata:

أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ، وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

“Hindun bintu Uqbah (istri Abu Sufyan) berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir dan tidak pernah memberikan (nafkah) yang mencukupi bagi saya dan anak saya, kecuali apa yang saya ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.” Nabi menjawab: “Ambillah yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan seperlunya.” [HR Al bukhari (5364) dan Muslim (1714)]

Kedua: Memperkenalkan atau memanggil seseorang dengan nama yang sudah dikenal (ta’rif).

Jika ada seseorang yang terkenal dengan nama, panggilan, atau gelar tertentu yang memiliki makna tidak baik, seperti misalnya Al A’masy (Orang yang kabur penglihatannya), Al A’raj (Si Pincang), Al A’ma (Si Buta), Al Ashom (Si Tuli), dll; maka kita boleh menggunakan nama tersebut dengan tujuan sekedar untuk memperkenalkannya kepada orang lain atau untuk panggilan semata. Adapun jika tujuannya adalah untuk mengejeknya atau merendahkannya maka hal ini diharamkan.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang direndahkan itu) lebih baik dari mereka. Jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi (yang direndahkan itu) lebih baik dari mereka. Janganlah suka mencela sesama kalian dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) kefasikan sesudah iman. Barangsiapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” [QS Al Hujurat: 11]

Ketiga: Memperingatkan orang lain dari kejelekan seseorang (tahdzir).

Memperingatkan kaum muslimin dari bahaya atau kejelekan seseorang agar mereka meninggalkan orang tersebut dan selamat dari bahayanya adalah disyariatkan di dalam agama, dengan syarat tujuannya adalah dalam rangka menyampaikan nasehat.

Hal ini berlaku dalam banyak hal, seperti memperingatkan kaum muslimin agar tidak belajar agama dari seorang ahli bid’ah atau fasiq, memperingatkan tentang sifat seseorang yang suka berdusta atau berkhianat, memperingatkan tentang akhlak buruk dari seorang yang akan dinikahi, memperingatkan tentang kecurangan yang biasa dilakukan oleh seorang penjual, serta masalah-masalah yang lain sebagainya.

Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata:

اسْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: ائْذَنُوا لَهُ، بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ -أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ

“Seorang lelaki meminta izin (untuk bertemu) dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Lalu beliau berkata: “Izinkan dia (masuk). (Dia adalah) sejelek-jeleknya saudara dari suatu keluarga -atau anak dari suatu keluarga.” [HR Al Bukhari (6054) dan Muslim (2591)]

Imam Al Bukhari memasukkan hadits ini ke dalam sebuah bab di dalam kitab Shahihnya yang berjudul: “Bab: Bolehnya mengghibah pelaku kerusakan dan orang yang diragukan.”

Dalil lainnya adalah hadits Fathimah bintu Qais radhiallahu ‘anha, dia berkata kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم :

إن معاوية بن أبي سفيان وأبا جهم خطباني. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أما أبو جهم فلا يضع عصاه عن عاتقه، وأما معاوية فصعلوك لا مال له. انكحي أسامة بن زيد

“Sesungguhnya Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm melamarku.” Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata: “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari pundaknya (suka memukul); sedangkan Muawiyah, dia adalah orang yang sangat faqir dan tidak memiliki harta. Menikahlah engkau dengan Usamah bin Zaid.” [HR Muslim (1480)]

Keempat: Mencela orang yang melakukan kemaksiatan secara terbuka.

Jika ada seseorang yang gemar melakukan kemaksiatan secara terbuka di hadapan orang banyak, seperti orang yang terang-terangan meminum khamr, menarik upeti, merampas harta orang lain, dan lain sebagainya, maka kita diperbolehkan untuk mencelanya, akan tetapi hanya sebatas kemaksiatan dan kerusakan yang dia lakukan.

Kelima: Meminta fatwa untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Jika ada seseorang yang bertanya kepada seorang ahli fatwa tentang permasalahan yang dialami oleh seseorang dengan orang lain serta menanyakan tentang jalan keluar dari masalah tersebut, maka hal ini diperbolehkan di dalam agama.

Hal ini sebaiknya dilakukan dengan tanpa menyebut nama orang yang bermasalah dengannya dan menggantinya dengan kata “si fulan”, “si A”, atau yang sejenisnya. Namun meskipun demikian, penyebutan nama tetap diperbolehkan dalam hal ini, sebagaimana yang tersebut di dalam hadits Aisyah tentang kisah Hindun istri Abu Sufyan pada kondisi pertama.

Keenam: Meminta pertolongan untuk menghilangkan kemungkaran.

Jika ada yang datang kepada seseorang mengabarkan bahwa si Fulan melakukan suatu perkara mungkar (baik itu berupa kemaksiatan, kebid’ahan, atau kekufuran) dengan tujuannya adalah orang tersebut menghentikan kemungkaran yang dilakukan oleh si Fulan, maka hal ini diperbolehkan.

Hal ini termasuk ke dalam keumuman hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Saya mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah ia dengan tangannya. Jika dia tidak mampu maka (ubahlah) dengan lisannya. Jika dia tidak mampu maka (ingkarilah) dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” [HR Muslim (49)]

Keenam kondisi yang membolehkan seseorang untuk membicarakan kejelekan orang lain (ghibah) ini telah dikumpulkan oleh seorang penyair di dalam sebuah syair:

القَدْحُ لَيْسَ بِغِيبَةٍ فِي سِتَّةٍ *** مُتَظَلِّمٌ وَمُعَرِّفٌ وَمُحَذِّرٌ
وَلِمُظْهِرٍ فِسْقًا وَمُسْتَفْتٍ *** وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةَ فِي إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

Celaan bukanlah ghibah pada enam (perkara, yaitu:) mengadukan perbuatan zhalim, memperkenalkan (seseorang), memperingatkan (kejelekan), (mencela) orang yang menampakkan kefasikan, meminta fatwa, dan meminta pertolongan untuk menghilangkan kemungkaran.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka perbuatan yang anda lakukan -yaitu memperingatkan orang lain dari seseorang yang memiliki akhlak yang buruk agar mereka terhindar dari kejelekan akhlaknya-  insya Allah hukumnya tidak mengapa dan tidak termasuk ke dalam membicarakan kejelekan orang lain yang tercela (ghibah). Apa yang anda lakukan itu adalah sebagai bentuk nasehat kepada saudara anda dan mengingatkannya agar terhindar dari keburukan orang yang anda maksud. Wallahu a’lam.

والحمد لله رب العالمين

Sumber: Pembahasan di atas disadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Riyadhush Shalihin karya Imam Yahya bin Syaraf An Nawawi rahimahullah ta’ala.