Pages

Hukum Shalat Tahiyyatul Masjid

بسم الله الرحمن الرحيم

Ketika seseorang memasuki masjid lalu berkeinginan untuk duduk di dalamnya, disyariatkan baginya untuk melaksanakan sholat sunat dua rakaat sebelum duduk yang dikenal dengan nama sholat tahiyyatul masjid. Akan tetapi ulama berselisih di dalam perincian hukumnya, apakah wajib ataukah sunat (mustahab). Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat hukumnya mustahab, sedangkan sebagian lainnya berpendapat tentang wajibnya. Di dalam tulisan ini, kami mencoba untuk menyampaikan dalil-dalil yang digunakan oleh kedua belah pihak, lalu menentukan pendapat yang rajih dari kedua belah pihak menurut kami. Wal ‘ilmu ‘indalloh.

PENDAPAT PERTAMA: Shalat tahiyyatul masjid hukumnya adalah sunat (mustahab).
Ini adalah pendapat jumhur ulama. Mereka berdalil dengan beberapa hadits, di antaranya adalah:

1. Hadits Abdullah bin Busr radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

Hukum Meludah ke Arah Tertentu

بسم الله الرحمن الرحيم

Setiap orang pasti pernah meludah. Ini disebabkan karena tubuh manusia memiliki suatu kelenjar yang terus-menerus menghasilkan air liur. Ketika meludah, ada sebagian orang yang meludah ke depan, ada pula yang ke arah kanan, dan ada pula yang ke arah kiri. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana ketentuan syariat tentang arah meludah. Apakah boleh meludah ke semua arah ataukah ada perincian dalam hal ini.

Berikut ini kami sampaikan tentang perincian hukum meludah ke arah tertentu.

1. Meludah ke arah qiblat.

Meludah ke arah qiblat hukumnya adalah haram apabila dalam keadaan sedang melaksanakan shalat.

Dalil yang menunjukkan kepada larangan ini adalah hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

Apakah Jahil (Bodoh) dalam Perkara Agama Diperbolehkan?

بسم الله الرحمن الرحيم

Sebagian kaum muslimin melakukan beberapa perbuatan yang menyelisihi syariat baik itu berupa kesyirikan, kekufuran, kebid’ahan, atau kemaksiatan dengan alasan bahwa dia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu diharamkan atau dilarang di dalam Islam. Dia beralasan bahwa dirinya jahil atau tidak mengerti urusan agama sehingga dia tidak segan untuk melakukan pelanggaran. Atas dasar ini dia mengatakan bahwa dirinya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang diberikan uzur (maaf) karena kejahilannya terhadap masalah hukum agama.

Alasan seperti ini tidaklah bisa diterima begitu saja karena ulama telah mengatur permasalahan al ‘udzru bil jahl (pemberian maaf yang disebabkan karena kebodohan) agar hal ini tidak bisa dijadikan sebagai senjata bagi orang-orang yang berpenyakit hatinya agar bebas melakukan penyelisihan syariat dan tidak pernah mau mempelajari ilmu agama.

Hukum Mendatangi dan Bertanya kepada Dukun Sihir dan Peramal

بسم الله الرحمن الرحيم

Pada pembahasan Kitabut Tauhid bab ما جاء في الكهان ونحوهم (Pembahasan tentang dukun dan yang sejenisnya), Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa ancaman tidak diterimanya shalat orang yang mendatangi dukun sihir atau peramal selama empat puluh hari sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits tidaklah berlaku secara mutlak. Hadits yang dimaksud di sini adalah hadits dari salah seorang istri Nabi Muhammad radhiallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

من أتى عرافا فصدقه بما يقول لم يقبل له صلاة أربعين يوما

“Barangsiapa yang mendatangi peramal untuk menanyakannya tentang sesuatu, lalu dia mempercayainya, maka sholatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari.” [HR Ahmad (4/68). Hadits shahih]. Silakan melihat pembahasannya di sini.

Tiga Derajat Keyakinan

بسم الله الرحمن الرحيم

Keyakinan seseorang terhadap segala sesuatu berbeda-beda tingkatannya. Ada yang dinamakan ‘ilmul yaqin (عِلْمُ الْيَقِينِ), ada pula ‘ainul yaqin (عَيْنُ الْيَقِينِ),  dan ada pula haqqul yakin (حَقُّ الْيَقِينِ). Dari ketiga jenis yakin ini, manakah derajat yang paling tinggi? Untuk mengetahui jawabannya, mari kita melihat penjelasan yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang kami sadur dengan perubahan seperlunya dari kitab Majmu’ul Fatawa (10/645) tanpa merubah makna pokoknya.

Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ahmad bin Taimiyah rahimahullah ditanya tentang firman Allah ta’ala: (حَقُّ الْيَقِينِ) [QS Al Waqi’ah: 95], (عَيْنَ الْيَقِينِ) [QS At Takatsur: 7], dan (عِلْمَ الْيَقِينِ) [QS At Takatsur: 5]. Apa sajakah makna dari setiap jenis keyakinan ini dan jenis manakah yang paling tinggi derajatnya?