بسم الله الرحمن الرحيم
Ketika seseorang memasuki masjid lalu berkeinginan untuk duduk di dalamnya, disyariatkan baginya untuk melaksanakan sholat sunat dua rakaat sebelum duduk yang dikenal dengan nama sholat tahiyyatul masjid. Akan tetapi ulama berselisih di dalam perincian hukumnya, apakah wajib ataukah sunat (mustahab). Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat hukumnya mustahab, sedangkan sebagian lainnya berpendapat tentang wajibnya. Di dalam tulisan ini, kami mencoba untuk menyampaikan dalil-dalil yang digunakan oleh kedua belah pihak, lalu menentukan pendapat yang rajih dari kedua belah pihak menurut kami. Wal ‘ilmu ‘indalloh.
PENDAPAT PERTAMA: Shalat tahiyyatul masjid hukumnya adalah sunat (mustahab).
Ini adalah pendapat jumhur ulama. Mereka berdalil dengan beberapa hadits, di antaranya adalah:
1. Hadits Abdullah bin Busr radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
جاء رجل يتخطى رقاب الناس يوم الجمعة والنبي صلى الله عليه وسلم يخطب، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: اجلس، فقد آذيت
“Seorang lelaki datang dan melangkahi pundak-pundak manusia (yang sedang duduk) pada hari Jum’at dan Nabi صلى الله عليه وسلم sedang berkhutbah. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم berkata: “Duduklah, engkau telah menyakiti (orang-orang).” [HR Abu Daud (1118). Hadits shahih.]
Sisi pendalilan: Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak memerintahkan orang yang masuk masjid ini untuk melakukan sholat tahiyyatul masjid sebelum dia duduk.
2. Hadits Abu Waqid Al Laitsiy radhiallahu ‘anhu tentang kisah tiga orang yang melewati majlisnya Nabi صلى الله عليه وسلم . Lalu dua orang di antara mereka masuk ke dalam mesjid dan yang ketiga berlalu pergi. Salah satu dari dua orang yang masuk ke dalam mesjid duduk di tempat yang masih ada celah untuk duduk, sedangkan orang yang kedua duduk di bagian akhir majlis. [HR Al Bukhari (66) dan Muslim (2176).]
Sisi pendalilan: Kedua orang ini ketika masuk ke masjid langsung mencari tempat untuk duduk dan Nabi صلى الله عليه وسلم tidak memerintahkan mereka untuk sholat tahiyyatul masjid terlebih dahulu.
3. Hadits Thalhah bin Ubaidillah radhiallahu ‘anhu tentang kisah seorang A’rabiy (Arab pedalaman) yang bertanya tentang Islam. Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ
“Shalat lima waktu dalam sehari dan semalam.”
Lalu A’rabiy tadi bertanya lagi:
هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟
“Apakah ada lagi yang wajib atasku selain itu?”
Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab:
لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ
“Tidak ada, kecuali engkau melakukan shalat sunat.” [HR Al Bukhari (46) dan Muslim (11).]
Sisi pendalilan: Hadits ini dengan tegas menyatakan bahwa segala sholat selain sholat fardhu lima waktu tidaklah wajib, termasuk pula sholat tahiyyatul masjid.
4. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
أنه دخل المسجد فاحتبى ولم يصل الركعتين
“Bahwasanya beliau (Nabi صلى الله عليه وسلم ) masuk ke dalam masjid lalu duduk ihtiba’ (melingkarkan tangan ke lutut atau betis) dan tidak melakukan shalat dua rakaat.”
Hadits ini disebutkan di dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari (3/227) karya Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah dan dianggap mahfuzh oleh Imam Ahmad.
Sisi pendalilan: Hadits ini dengan jelas menyebutkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم duduk di dalam masjid tanpa melaksanakan shalat dua rakaat. Ini menunjukkan bahwa shalat tahiyyatul masjid tidaklah wajib.
PENDAPAT KEDUA: Shalat tahiyyatul masjid hukumnya adalah wajib.
Ini adalah pendapat madzhab Adz Dzahiriyyah dan beberapa ulama lainnya di antaranya Asy Syaukani dan dipilih oleh Syaikh Muqbil Al Wadi’i. Mereka berdalil dengan beberapa hadits, di antaranya adalah:
1. Hadits Abu Qatadah Al Anshari radhiallahu ‘anhu. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
“Apabila salah seorang dari kalian masuk ke dalam masjid maka janganlah dia duduk sampai dia melakukan shalat dua rakaat.” [HR Al Bukhari (1163) dan Muslim (714).]
Sisi pendalilan: Hadits ini dengan jelas mengandung larangan bagi setiap orang yang masuk ke dalam masjid lalu ingin duduk di dalamnya tanpa melaksanakan shalat tahiyyatul masjid terlebih dulu.
2. Hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
دَخَلَ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ. فَقَالَ: أَصَلَّيْتَ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: قُمْ، فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Seorang laki-laki masuk (ke dalam masjid) pada hari Jum’at dan Nabi صلى الله عليه وسلم tengah berkhutbah. Nabi bertanya: “Apakah engkau telah shalat?” Lelaki itu menjawab: “Tidak.” Beliau berkata: “Bangunlah, lalu sholatlah dua rakaat.” [HR Al Bukhari (931) dan Muslim (875).]
Adapun lelaki yang tersebut di dalam hadits di atas bernama Sulaik Al Ghathafani radhiallahu 'anhu, sebagaimana disebutkan di dalam riwayat Abu Daud nomor 1116.
Sisi pendalilan: Ketika Sulaik radhiallahu ‘anhu masuk ke masjid lalu langsung duduk tanpa melaksanakan sholat tahiyyatul masjid, maka Nabi صلى الله عليه وسلم langsung memerintahkannya berdiri untuk sholat.
Lantas bagaimana tanggapan kelompok kedua ini terhadap dalil-dalil yang digunakan oleh jumhur di atas? Tanggapannya secara ringkas adalah sebagai berikut:
1. Tanggapan terhadap hadits Abdullah bin Busr dan hadits Abu Waqid Al Laitsiy radhiallahu ‘anhuma.
Kedua hadits ini sama sekali tidak menerangkan bahwa para sahabat yang masuk ke dalam masjid ini tidak melaksanakan sholat tahiyyatul masjid sebelum duduk di majelis Nabi صلى الله عليه وسلم . Bisa jadi mereka sudah melaksanakan sholat dua rakaat sebelum duduk di dalam majlis, sehingga tidak diingkari oleh Nabi صلى الله عليه وسلم . Bisa jadi pula sholat tahiyyatul masjid belum disyariatkan ketika itu. Oleh karena itu, tidaklah patut memalingkan perintah yang terkandung di dalam hadits Abu Qatadah dan Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma yang shahih dan sharih kepada hadits-hadits yang masih mengandung ihtimal (kemungkinan-kemungkinan).
2. Tanggapan terhadap hadits Thalhah bin Ubaidillah radhiallahu ‘anhu tentang kisah lelaki A’rabiy yang bertanya tentang perkara Islam.
Kisah ini terjadi pada masa-masa awal tasyri’ karena banyak perintah-perintah dan perkara-perkara wajib lainnya selain dari apa yang disebutkan di dalam hadits ini. Jawaban lainnya, hadits ini hanya menerangkan tentang tidak wajibnya shalat yang selalu berulang setiap hari dan malam tanpa ada suatu sebab tertentu. Adapun jika ada sebab tertentu yang mengharuskan untuk sholat, maka hadits ini tidaklah menafikannya, seperti shalat jenazah, shalat dua hari raya, sholat gerhana, dan sholat nazar.
3. Tanggapan terhadap hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.
Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata di dalam kitab Fathul Bari (3/227) : “Hadits ini sangat asing (gharib), dan memarfu’kannya sangat aneh, dan tampaknya ia mauquf.”
KESIMPULAN:
Setelah memperhatikan dalil dari masing-masing kelompok dan sisi pendalilannya, maka kami menilai bahwa pendapat kelompok kedua yang mengatakan bahwa shalat tahiyyatul masjid hukumnya wajib adalah lebih kuat. Wallahu ta’ala a’lam.
PERHATIAN:
1. Penamaan shalat dua rakaat sebelum duduk ketika masuk ke dalam masjid dengan tahiyyatul masjid didasarkan kepada hadits yang sangat lemah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Abu Dzarr Al Ghifari radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
يا أبا ذر، إن للمسجد تحية وإن تحيته ركعتان، فقم فاركعهما
“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya ada penghormatan untuk masjid, dan penghormatannya adalah shalat dua rakaat, maka bangunlah engkau lalu lakukan dua rakaat itu.”
Hadits ini sangatlah lemah karena di dalamnya terdapat seorang perawi yang bernama Ibrahim bin Hisyam Al Ghassani dan dia adalah seorang yang tidak dipakai haditsnya (matruk). Abu Hatim berkata tentangnya: “Kadzdzab (pendusta besar).”
2. Jenis sholat yang dilakukan sebelum duduk di dalam masjid bukan hanya terbatas kepada shalat dua rakaat tahiyyatul masjid secara khusus. Segala jenis shalat sunat boleh dilakukan sebagai pengganti tahiyyatul masjid, seperti sholat sunat wudhu’, shalat sunat rawatib, shalat dhuha, dan lain sebagainya.
والحمد لله رب العالمين
Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari Kitabush Sholah min Bulughil Maram karya Syaikh Muhammad bin Hizam Al Ba’dani hafidzhahullah dan sumber-sumber lainnya.