Bismillahirrahmanirrahim | Berkata Abdullah ibnu Abbas radhiallahu 'anhu: "Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun yang baru melainkan mereka pasti akan membuat bid'ah baru dan mematikan sunnah sehingga hiduplah bid'ah dan matilah sunnah." Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitab Al Bida' wan Nahyu 'anha | Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullahu ta'ala: "Bid'ah lebih disukai Iblis daripada maksiat karena maksiat akan ditaubati sedangkan bid'ah tidak akan ditaubati." Diriwayatkan oleh Al Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah (1/216) | Berkata Sufyan bin Uyainah rahimahullahu ta'ala: "Barangsiapa yang rusak dari kalangan ulama kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ulama Yahudi dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ahli ibadah Nasrani." |

Hukum Orang yang Berloyalitas kepada Orang Kafir

بسم الله الرحمن الرحيم

Telah lewat pembahasan tentang hukum berloyalitas kepada orang kafir. Sekarang mari kita membahas tentang hukum seorang muslim yang melakukan perbuatan yang diharamkan ini, apakah dia dihukumi keluar dari Islam ataukah tidak dihukumi demikian.

Sebelumnya kita perlu mengetahui bahwasanya bermuwalah (bersikap loyal) terhadap kaum kafir terbagi kepada dua jenis. Jenis yang pertama adalah muwalah yang bisa mengeluarkan pelakunya dari keislamannya, dan jenis yang kedua adalah muwalah yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam.

A. Muwalah Kubro (muwalah yang bisa mengeluarkan pelakunya dari keislamannya)

Muwalah seperti ini adalah apabila dilakukan dengan cara memberikan pertolongan dan dukungan kepada mereka untuk menyerang kaum muslimin atau untuk memperkokoh kedudukan agama mereka serta kekafiran dan kesyirikan yang mereka lakukan selama ini. Dukungan ini bisa berbentuk dukungan harta, tenaga, lisan, ataupun hati.

Orang yang melakukan muwalah seperti ini maka dia dihukumi sebagai murtad keluar dari agama Islam. Dalilnya adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah ta’ala:

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Allah memperingatkan kalian terhadap diri (siksaan)-Nya dan hanya kepada Allah kembali.” [QS Alu Imran: 28]

Makna (فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ) adalah bahwasanya pelakunya telah berlepas diri dari Allah dan Allah pun telah berlepas diri darinya disebabkan karena telah keluarnya dia dari agamanya (murtad) dan masuknya dia ke dalam kekufuran. Demikian dikatakan oleh Ibnu Jarir rahimahullah di dalam tafsir kitab tafsirnya (6/313)

2. Firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” [QS Al Maidah: 51]

Makna (وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ) menurut Ibnu Jarir rahimahullah (10/400) adalah: “Barangsiapa yang berwala` kepada mereka dan membantu mereka untuk mengalahkan kaum mukminin maka dia termasuk pengikut agama dan jalan mereka. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang itu berwala` kepada seseorang melainkan dia pasti ridha terhadap agama dan segala urusan orang tersebut. Apabila dia telah ridha terhadap orang tersebut dan agamanya maka pastilah dia memusuhi dan membenci segala perkara yang menyelisihinya, maka jadilah hukum orang tersebut sama dengan hukumnya.”

3. Firman Allah ta’ala:

تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ (80) وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sungguh amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka dan mereka akan kekal dalam siksaan. [81] Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS Al Maidah: 80-81]

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan (لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ) : “Wala`nya mereka terhadap orang-orang kafir dan tidak bermuwalah kepada kaum muslimin yang menimbulkan kemunafikan di dalam hati mereka dan menimbulkan kemurkaan Allah kepada mereka yang berlanjut hingga hari perjumpaan dengan-Nya.” Lihat tafsir Ibnu Katsir (2/75)

Al Qurthubi berkata di dalam tafsirnya (6/254): “Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang menjadikan orang kafir sebagai wali maka dia bukanlah seorang yang beriman bila dia meyakini keyakinan orang tersebut dan meridhai perbuatannya.”

B. Muwalah Shughro (muwalah yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam)

Contohnya adalah bila seorang muslim menyambut kedatangan kaum kafir ke tempat mereka atau dengan memberikan layanan dan pembelaan kepada mereka dengan menampakkan rasa hormat, kagum, dan cinta dengan tujuan mendapatkan keridhaan mereka atau kepentingan duniawi lainnya. Namun di dalam hati orang tersebut masih terdapat rasa kebencian terhadap kaum kafir dan kekufuran atau kesyirikan yang mereka lakukan.

Orang yang melakukan muwalah jenis ini dihukumi sebagai seorang muslim yang telah melakukan dosa yang besar. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang.” [QS Al Mumtahanah: 1]

Ayat ini turun disebabkan peristiwa yang dilakukan oleh seorang sahabat Nabi yang bernama Hathib bin Abi Balta’ah radhiallahu ‘anhu sebagaimana diriwayatkan oleh Al Hakim (3802) dari Ibnu Abbas. Dia mengirimkan surat rahasia kepada kaum Quraisy yang berisi bocoran rencana kaum muslimin yang hendak menyerang kota Mekkah. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (3007) dan Muslim (2494).

Sisi pendalilan dari ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala masih menggunakan kata (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا) “wahai orang-orang yang beriman” kepada Hathib meskipun dia telah melakukan perbuatan yang tersebut di atas. Dan yang dimaksud dengan (بِالْمَوَدَّةِ) “dengan rasa kasih sayang” di dalam ayat di atas adalah kasih sayang secara zhahir dan bukan dari dalam hati karena Hathib merupakan salah seorang sahabat Nabi yang telah diakui kejujurannya oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم sebagaimana yang dikatakan oleh Al Qurthubi di dalam tafsirnya (18/52).

Selain itu tujuan Hathib melakukan perbuatan ini dilandasi oleh tujuan duniawi yaitu untuk menyelamatkan anggota keluarganya yang masih tertinggal di kota Mekkah. Dia melakukannya bukan karena rasa cintanya kepada kaum musyrikin atau dengan tujuan untuk menolong mereka. Oleh karena sebab inilah maka Hathib tidak dikafirkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan melarang Umar ibnul Khaththab untuk membunuhnya.

Demikianlah secara ringkas perincian hukum orang-orang yang berwala` kepada orang-orang kafir, musyrik, atau yang memusuhi Allah dan agama-Nya.

والحمد لله رب العالمين

Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari Masail ‘ala Nawaqhidhil Islam karangan Nashir bin Ahmad Al Adani hadahullah.