بسم الله الرحمن الرحيم
Betapa banyak kenikmatan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang kita rasakan. Betapa banyak pula di antara kita yang lupa untuk menyandarkan kenikmatan yang kita rasakan itu kepada Allah ta’ala. Mereka mengatakan: “Aku sembuh karena dokter itu ahli.” atau “Aku kaya karena keterampilanku berdagang.” atau “Aku pandai karena kecerdasanku.” atau “Kalau bukan karena ada pak satpam pastilah rumah kita sudah dimasuki maling.” atau “Kalau bukan karena pak supir yang jago, pastilah kita sudah mengalami kecelakaan.” dan lain sebagainya.
Perkataan-perkataan di atas sangatlah berbahaya bagi akidah seseorang karena bisa menjerumuskan kepada kesyirikan tanpa dia sadari. Penyebabnya adalah karena dia tidak menyandarkan nikmat yang diperolehnya kepada Allah ta’ala.
“Mereka mengetahui nikmat Allah kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” [QS An Nahl: 83]
Berkata Aun bin Abdillah Al Hudzali rahimahullah: “Mereka mengatakan: Kalau bukan karena fulan maka tidak akan terjadi begini dan begitu.”
Sebagian ulama salaf berkata: “Contohnya adalah seperti perkataan mereka (yang selamat di pelayaran laut): (Kita selamat karena) cuacanya bagus dan kapten nahkodanya handal.”
Syaikhul Islam juga memberikan contoh: “Engkau berkata: ‘Kalau bukan karena anjing ini pastilah kita sudah didatangi pencuri.’ Atau: ‘Kalau bukan karena ada bebek di rumah pastilah kita sudah didatangi pencuri.”
Di dalam ayat yang lain, Allah juga menceritakan tentang orang-orang yang melupakan nikmat-Nya:
“Jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah Dia ditimpa kesusahan, pastilah Dia berkata: "Ini adalah hakku!” [QS Fushshilat: 50]
Mujahid, seorang ahli tafsir, menafsirkan ayat ini: “Ini semua adalah berkat usahaku sehingga akulah yang paling berhak atasnya.”
Senada dengan ayat ini adalah firman Allah ta’ala yang lain:
“Apabila manusia ditimpa bahaya dia menyeru Kami. Kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: “Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku”. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” [QS Az Zumar: 49]
Ini semua adalah bentuk penyekutuan dan membuat tandingan kepada Allah ‘azza wa jalla padahal Dialah yang telah menganugerahkan berbagai nikmat kepada kita. Allah berfirman:
“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian agar kalian bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untuk kalian. Oleh karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahuinya.” [QS Al Baqarah: 21-22]
Secara umum bila kita melihat kepada ucapan-ucapan di atas ada benarnya dan masuk di akal. Namun ucapan tersebut dilarang karena mereka ketika mengucapkannya itu lupa -atau pura-pura lupa- bahwa semua itu datangnya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun ilmu, kecerdasan, kesungguhan, pak dokter, pak satpam, pak supir, dan nahkoda kapal, anjing penjaga, dan yang lainnya hanyalah sebagai sebab saja. Adapun yang menentukan, memberikan, dan mengizinkan semua itu terjadi hanyalah Allah ‘azza wa jalla semata.
Kita tidak boleh meyakini bahwa semua hal itu sebagai pelaku utama dari manfaat atau nikmat yang terjadi. Kita hanya boleh meyakini bahwa semua hal itu adalah sebab saja, sedangkan penentu dan pemberi nikmat yang sesungguhnya adalah Allah subhanahu wa ta’ala semata.
Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari Kitabut Tauhid karya Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab An Najdi rahimahullah.
Perkataan-perkataan di atas sangatlah berbahaya bagi akidah seseorang karena bisa menjerumuskan kepada kesyirikan tanpa dia sadari. Penyebabnya adalah karena dia tidak menyandarkan nikmat yang diperolehnya kepada Allah ta’ala.
Allah berfirman:
يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ
الْكَافِرُونَ
Berkata Aun bin Abdillah Al Hudzali rahimahullah: “Mereka mengatakan: Kalau bukan karena fulan maka tidak akan terjadi begini dan begitu.”
Sebagian ulama salaf berkata: “Contohnya adalah seperti perkataan mereka (yang selamat di pelayaran laut): (Kita selamat karena) cuacanya bagus dan kapten nahkodanya handal.”
Syaikhul Islam juga memberikan contoh: “Engkau berkata: ‘Kalau bukan karena anjing ini pastilah kita sudah didatangi pencuri.’ Atau: ‘Kalau bukan karena ada bebek di rumah pastilah kita sudah didatangi pencuri.”
Di dalam ayat yang lain, Allah juga menceritakan tentang orang-orang yang melupakan nikmat-Nya:
وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ رَحْمَةً مِنَّا مِنْ بَعْدِ ضَرَّاءَ
مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ هَذَا لِي
Mujahid, seorang ahli tafsir, menafsirkan ayat ini: “Ini semua adalah berkat usahaku sehingga akulah yang paling berhak atasnya.”
Senada dengan ayat ini adalah firman Allah ta’ala yang lain:
فَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ
نِعْمَةً مِنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَكِنَّ
أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Ini semua adalah bentuk penyekutuan dan membuat tandingan kepada Allah ‘azza wa jalla padahal Dialah yang telah menganugerahkan berbagai nikmat kepada kita. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ
الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ
أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Secara umum bila kita melihat kepada ucapan-ucapan di atas ada benarnya dan masuk di akal. Namun ucapan tersebut dilarang karena mereka ketika mengucapkannya itu lupa -atau pura-pura lupa- bahwa semua itu datangnya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun ilmu, kecerdasan, kesungguhan, pak dokter, pak satpam, pak supir, dan nahkoda kapal, anjing penjaga, dan yang lainnya hanyalah sebagai sebab saja. Adapun yang menentukan, memberikan, dan mengizinkan semua itu terjadi hanyalah Allah ‘azza wa jalla semata.
Kita tidak boleh meyakini bahwa semua hal itu sebagai pelaku utama dari manfaat atau nikmat yang terjadi. Kita hanya boleh meyakini bahwa semua hal itu adalah sebab saja, sedangkan penentu dan pemberi nikmat yang sesungguhnya adalah Allah subhanahu wa ta’ala semata.
والحمد لله رب العالمين
Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya dari Kitabut Tauhid karya Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab An Najdi rahimahullah.