بسم الله الرحمن الرحيم
Pemilihan umum atau yang diistilahkan dengan intikhabat merupakan salah satu produk dari sistem Demokrasi. Pada pembahasan tentang demokrasi kita telah menyebutkan hakikat dari demokrasi dan larangan Islam untuk berpedoman dengan hukum demokrasi tersebut. Pembahasan tentang demokrasi dapat dilihat di sini.
Pemilihan umum adalah suatu proses pemilihan wakil rakyat untuk diangkat menjadi anggota parlemen ataupun menjadi pemimpin dengan menggunakan metode suara pemilih terbanyak. Jadi, siapapun dapat memilih siapapun dan siapapun dapat menjadi pemenang meskipun dia adalah seorang yang bodoh, fasik, kafir, berakidah sesat, berakhlak buruk, ataupun orang yang tidak memiliki kapabilitas dan kemampuan untuk menjadi wakil rakyat atau pemimpin.
Ada banyak sekali penyelisihan syariat di dalam pemilihan umum dan banyak sekali pula kerusakan yang ditimbulkan oleh pemilihan umum ini. Berikut ini kami sampaikan beberapa penyelisihan dan kerusakan yang ada di dalam pemilihan umum yang kami ringkaskan dengan penambahan seperlunya dari kitab Tanwiruzh Zhulumat li Kasyfi Mafasidi wa Syubuhatil Intikhabat karya Syekh Muhammad Al Imam hadahullah.
1. Pemilihan umum termasuk salah satu bentuk kesyirikan terhadap Allah.
Kesyirikan di sini adalah pada hal ketaatan, di mana pemilihan umum merupakan bagian dari sistem demokrasi yang harus ditaati secara mutlak. Padahal kita telah mengetahui bahwasanya demokrasi itu bukanlah hukum Allah, melainkan adalah hukum buatan manusia. Silakan melihat pembahasannya di sini.
2. Pengambilan keputusan dengan suara terbanyak (mayoritas).
Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa calon yang hanya memiliki suara sedikit dia akan kalah meskipun dia barangkali adalah orang yang lebih tepat untuk menjadi pemimpin bagi masyarakat dari segi agama, akhlak, dan kemampuannya apabila dibandingkan dengan orang yang memiliki suara terbanyak.
Apalagi mayoritas masyarakat pemilih bukanlah orang yang benar-benar mengetahui kepribadian (agama, akidah, dan akhlak) dan kemampuan orang-orang yang bertarung di pemilihan. Kebanyakan mereka hanya memutuskan berdasarkan apa yang mereka lihat di spanduk, baliho, iklan, dan pencitraan (riya plus sum’ah), apalagi bila ditambah dengan permainan uang. Akhirnya terpilihlah orang yang tidak pantas menjadi pemimpin, lalu di kemudian hari masyarakat berteriak-teriak di jalanan menuntut orang pilihan mereka untuk mundur dari jabatan.
3. Adanya anggapan bahwa hukum syariat Islam adalah kurang sehingga harus berpaling kepada hukum lain buatan manusia yang jelas-jelas terbatas akal pikiran dan kebijaksaannya.
Padahal Allah telah menurunkan syariat Islam ini secara sempurna dan mencakup segala aspek kehidupan, termasuk masalah kepemimpinan dan kemasyarakatan. Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian (Islam), dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” [QS Al Maidah: 3]
Di dalam ayat yang lain Allah berfirman:
“Telah Kami turunkan kepadamu kitab (Al Quran) sebagai penjelasan terhadap segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” [QS An Nahl: 89]
4. Adanya pelecehan dan pelemahan terhadap nilai-nilai al wala’ (loyalitas) dan al bara’ (sikap berlepas diri).
Hal ini terlihat jelas di dalam sistem demokrasi, di mana dukungan dan penolakan terhadap seseorang bukanlah didasarkan pada ketaatan dan keistiqamahan seseorang di atas agama Allah. Hal ini jauh berbeda dengan apa yang diperintahkan di dalam Islam bahwa seharusnya yang menjadi pemimpin bagi umat manusia adalah orang yang beriman dan beramal shalih, bukan orang yang memiliki suara terbanyak meskipun ternyata dia adalah seorang yang kafir, fasik ahli maksiat, ataupun memiliki akidah yang sesat.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya wali (pemimpin) kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi walinya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang yang membuat agama kalian sebagai bahan ejekan dan permainan, yaitu orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang yang kafir, sebagai pemimpin kalian. Bertakwalah kepada Allah jika kalian betul-betul orang-orang yang beriman.” [QS Al Maidah: 55-57]
5. Penyelenggaraan pemilu merupakan bentuk ketundukan terhadap hukum buatan manusia yang tidak syar’i, yaitu demokrasi.
Silakan melihat pembahasan tentang hukum demokrasi di sini.
6. Dengan melakukan pemilu dan demokrasi, berarti kita telah secara langsung mengikuti dan mendukung orang-orang kafir di dalam menyebarkan akidah demokrasi mereka.
Inilah yang sebenarnya mereka inginkan terhadap kaum muslimin, yaitu mengikuti jejak langkah dan pemikiran mereka. Allah berfirman:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)!” [QS Al Baqarah: 120]
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Kalian benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang yang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Bahkan kalau mereka masuk ke dalam sarangnya Dhabb (sejenis biawak), pastilah kalian akan ikut melakukannya.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?” Nabi menjawab: “Siapa lagi?” [HR Al Bukhari (3456) dan Muslim (2669)]
7. Pemilihan umum menyebabkan perpecahan persatuan dan persaudaraan di antara sesama kaum muslimin dan timbulnya fanatisme golongan.
Hal ini sangatlah jelas terlihat. Sejak dimulainya masa kampanye hingga masa pelantikan, semuanya tidak terlepas dari yang namanya perpecahan dan perselisihan, seperti gangguan keamanan, gangguan lalu lintas, kerusuhan, demonstrasi, perusakan, saling tuduh-menuduh, dan lain sebagainya. Semuanya ini disebabkan karena adanya partai-partai dan kelompok-kelompok yang menyebabkan terkotak-kotaknya kaum muslimin dan lemahnya sikap al wala’ dan al bara’. Padahal Allah telah memerintahkan di dalam Al Quran:
“Berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati-hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk.” [QS Alu Imran: 103]
Di dalam ayat di atas jelas sekali Allah itu telah mempersatukan umat manusia dengan Islam setelah sebelumnya mereka berpecah belah di dalam kekafiran. Lantas, mengapa sekarang kita ingin kembali kepada masa dahulu -masa perpecahan- dengan kembali kepada syariat kaum kafir (demokrasi) dan meninggalkan tali agama Allah, yaitu agama Islam? Tidakkah kita berpikir dan mengambil pelajaran?
Pembahasan ini kita lanjutkan pada bagian kedua. Silakan membacanya di sini.
Pemilihan umum adalah suatu proses pemilihan wakil rakyat untuk diangkat menjadi anggota parlemen ataupun menjadi pemimpin dengan menggunakan metode suara pemilih terbanyak. Jadi, siapapun dapat memilih siapapun dan siapapun dapat menjadi pemenang meskipun dia adalah seorang yang bodoh, fasik, kafir, berakidah sesat, berakhlak buruk, ataupun orang yang tidak memiliki kapabilitas dan kemampuan untuk menjadi wakil rakyat atau pemimpin.
Ada banyak sekali penyelisihan syariat di dalam pemilihan umum dan banyak sekali pula kerusakan yang ditimbulkan oleh pemilihan umum ini. Berikut ini kami sampaikan beberapa penyelisihan dan kerusakan yang ada di dalam pemilihan umum yang kami ringkaskan dengan penambahan seperlunya dari kitab Tanwiruzh Zhulumat li Kasyfi Mafasidi wa Syubuhatil Intikhabat karya Syekh Muhammad Al Imam hadahullah.
1. Pemilihan umum termasuk salah satu bentuk kesyirikan terhadap Allah.
Kesyirikan di sini adalah pada hal ketaatan, di mana pemilihan umum merupakan bagian dari sistem demokrasi yang harus ditaati secara mutlak. Padahal kita telah mengetahui bahwasanya demokrasi itu bukanlah hukum Allah, melainkan adalah hukum buatan manusia. Silakan melihat pembahasannya di sini.
2. Pengambilan keputusan dengan suara terbanyak (mayoritas).
Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa calon yang hanya memiliki suara sedikit dia akan kalah meskipun dia barangkali adalah orang yang lebih tepat untuk menjadi pemimpin bagi masyarakat dari segi agama, akhlak, dan kemampuannya apabila dibandingkan dengan orang yang memiliki suara terbanyak.
Apalagi mayoritas masyarakat pemilih bukanlah orang yang benar-benar mengetahui kepribadian (agama, akidah, dan akhlak) dan kemampuan orang-orang yang bertarung di pemilihan. Kebanyakan mereka hanya memutuskan berdasarkan apa yang mereka lihat di spanduk, baliho, iklan, dan pencitraan (riya plus sum’ah), apalagi bila ditambah dengan permainan uang. Akhirnya terpilihlah orang yang tidak pantas menjadi pemimpin, lalu di kemudian hari masyarakat berteriak-teriak di jalanan menuntut orang pilihan mereka untuk mundur dari jabatan.
3. Adanya anggapan bahwa hukum syariat Islam adalah kurang sehingga harus berpaling kepada hukum lain buatan manusia yang jelas-jelas terbatas akal pikiran dan kebijaksaannya.
Padahal Allah telah menurunkan syariat Islam ini secara sempurna dan mencakup segala aspek kehidupan, termasuk masalah kepemimpinan dan kemasyarakatan. Allah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا
Di dalam ayat yang lain Allah berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
4. Adanya pelecehan dan pelemahan terhadap nilai-nilai al wala’ (loyalitas) dan al bara’ (sikap berlepas diri).
Hal ini terlihat jelas di dalam sistem demokrasi, di mana dukungan dan penolakan terhadap seseorang bukanlah didasarkan pada ketaatan dan keistiqamahan seseorang di atas agama Allah. Hal ini jauh berbeda dengan apa yang diperintahkan di dalam Islam bahwa seharusnya yang menjadi pemimpin bagi umat manusia adalah orang yang beriman dan beramal shalih, bukan orang yang memiliki suara terbanyak meskipun ternyata dia adalah seorang yang kafir, fasik ahli maksiat, ataupun memiliki akidah yang sesat.
Allah berfirman:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ
الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (55) وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ (56) يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا
وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ
أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
5. Penyelenggaraan pemilu merupakan bentuk ketundukan terhadap hukum buatan manusia yang tidak syar’i, yaitu demokrasi.
Silakan melihat pembahasan tentang hukum demokrasi di sini.
6. Dengan melakukan pemilu dan demokrasi, berarti kita telah secara langsung mengikuti dan mendukung orang-orang kafir di dalam menyebarkan akidah demokrasi mereka.
Inilah yang sebenarnya mereka inginkan terhadap kaum muslimin, yaitu mengikuti jejak langkah dan pemikiran mereka. Allah berfirman:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ
وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ
الْهُدَى
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ
قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ
ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ. قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ
7. Pemilihan umum menyebabkan perpecahan persatuan dan persaudaraan di antara sesama kaum muslimin dan timbulnya fanatisme golongan.
Hal ini sangatlah jelas terlihat. Sejak dimulainya masa kampanye hingga masa pelantikan, semuanya tidak terlepas dari yang namanya perpecahan dan perselisihan, seperti gangguan keamanan, gangguan lalu lintas, kerusuhan, demonstrasi, perusakan, saling tuduh-menuduh, dan lain sebagainya. Semuanya ini disebabkan karena adanya partai-partai dan kelompok-kelompok yang menyebabkan terkotak-kotaknya kaum muslimin dan lemahnya sikap al wala’ dan al bara’. Padahal Allah telah memerintahkan di dalam Al Quran:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ
جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ
كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ
إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Di dalam ayat di atas jelas sekali Allah itu telah mempersatukan umat manusia dengan Islam setelah sebelumnya mereka berpecah belah di dalam kekafiran. Lantas, mengapa sekarang kita ingin kembali kepada masa dahulu -masa perpecahan- dengan kembali kepada syariat kaum kafir (demokrasi) dan meninggalkan tali agama Allah, yaitu agama Islam? Tidakkah kita berpikir dan mengambil pelajaran?
Pembahasan ini kita lanjutkan pada bagian kedua. Silakan membacanya di sini.
والحمد لله رب العالمين