بسم الله الرحمن الرحيم
Pada tulisan pertama, kami telah menyampaikan adab-adab seorang pengajar Al Qur`an. Pada tulisan kali ini, kami akan menyampaikan adab-adab bagi seorang pelajar Al Qur`an. Adab-adab ini merupakan ringkasan dari kitab At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an karya Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawi rahimahullah dengan perubahan seperlunya yang tidak sampai mengubah makna yang diinginkan penulis, insya Allah.
Seluruh adab-adab pengajar yang telah disebutkan juga merupakan adab-adab bagi pelajar. Di antara adab-adab pelajar lainnya adalah:
PERTAMA: Menjauhi hal-hal yang dapat menyibukkan dari pelajaran, kecuali perkara yang memang harus dilakukan karena kebutuhan.
Hendaklah dia membersihkan hatinya dari kotoran agar dapat dengan mudah menerima Al Qur`an, menghafalnya, dan mendapatkan manfaatnya. Telah diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً،
إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ،
أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah sesungguhnya di tubuh itu terdapat sepotong daging, bila ia baik maka baiklah seluruh tubuh dan bila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah ia itu adalah jantung (hati).” [HR Al Bukhari (52) dan Muslim (1599)]
Sungguh bagus ucapan seseorang: “Hati itu menjadi baik dengan ilmu, sebagaimana bumi itu menjadi baik dengan tanaman.”
Hendaklah dia bersikap rendah hati terhadap gurunya dan beradab baik terhadapnya meskipun gurunya lebih muda usianya, tidak terkenal, lebih rendah nasabnya, lebih kurang keshalihannya, dan lain sebagainya. Dengan bersikap rendah hati terhadap ilmu, maka dia akan mendapatkannya. Ada yang mengatakan:
الْعِلْمُ حَرْبٌ لِلْفَتَى الْمُتَعَالِي كَالسَّيْلِ حَرْبٌ
لِلْمَكَانِ الْعَالِي
Ilmu itu jauh dari seorang pemuda yang tinggi hati
laksana banjir yang jauh dari tempat yang tinggi
KEDUA: Janganlah belajar melainkan kepada guru yang ahli, tampak keshalihannya, berilmu, dan menjaga ilmunya.
Muhammad bin Sirin, Malik bin Anas, dan ulama salaf lainnya berkata:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا
عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
KETIGA: Hendaklah dia menemui gurunya dalam keadaan yang sempurna, bersih sebagaimana yang disebutkan pada adab-adab pengajar, mensucikan mulut dengan siwak, tidak masuk tanpa meminta izin bila gurunya berada di tempat yang membutuhkan izin, mengucapkan salam kepada orang-orang yang telah hadir ketika dia masuk, dan mengucapkan salam jika keluar.
Janganlah dia melangkahi pundak orang lain, akan tetapi hendaklah dia duduk di bagian akhir majelis, kecuali jika dia diizinkan oleh guru untuk maju. Janganlah dia membuat orang lain bangun dari tempat duduknya. Janganlah dia duduk di tengah lingkaran kelompok kecuali dalam keadaan mendesak. Jangan pula dia duduk di antara dua orang tanpa izin dari keduanya. Jika mereka melapangkan tempat untuknya, maka barulah dia duduk.
KEEMPAT: Hendaklah dia berperilaku baik terhadap teman-temannya dan orang-orang yang hadir di majelis gurunya karena itu merupakan adab terhadap guru dan penghormatan terhadap majelisnya. Hendaklah dia duduk di hadapan gurunya dalam posisi duduk seorang murid, bukan posisi duduk seorang guru. Tidak mengeraskan suaranya tanpa ada keperluan, tidak tertawa, tidak memperbanyak bicara tanpa ada keperluan, tidak berbuat yang sia-sia dengan tangannya atau yang lainnya, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri tanpa ada keperluan, akan tetapi hendaklah dia menghadap ke arah guru sambil memperhatikan ucapannya.
KELIMA: Janganlah dia membaca di hadapan guru ketika si guru tengah sibuk memikirkan sesuatu, jenuh, berduka, terlalu gembira, lapar, haus, mengantuk, gelisah, dan lain sebagainya yang dapat menghalangi konsentrasi dan semangat sang guru.
Hendaklah dia bersabar atas sikap keras sang guru, kejelekan akhlaknya, dan hendaknya hal itu tidak menghalangi dia dari duduk mengambil ilmu darinya. Hendaknya dia membawa ucapan-ucapan dan perbuatannya yang secara zhahir salah kepada takwil yang benar.
Ulama berkata: “Barangsiapa yang tidak bersabar atas kesulitan pada masa belajar maka dia akan tetap berada dalam butanya kebodohan. Barangsiapa yang bersabar atasnya maka keadaannya akan berubah menjadi kemuliaan akhirat dan dunia.”
KEENAM: Bersemangat di dalam menuntut ilmu dan senantiasa melakukannya di setiap kesempatan. Jangan pernah merasa cukup dengan sesuatu yang sedikit jika mampu untuk mendapatkan yang lebih banyak, sepanjang tidak memberatkan dirinya agar tidak jenuh dan kehilangan apa yang telah dia dapatkan.
Hendaklah dia memanfaatkan waktu kosongnya, saat dia bersemangat, saat badannya kuat, dan pikirannya yang tajam sebelum datangnya hal-hal yang dapat menghilangkan itu semua ataupun mencapai kedudukan yang tinggi.
Amirul mu`minin Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata:
تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا
“Belajarlah sebelum kalian diangkat menjadi pemimpin.” [Riwayat Ad Darimi (1/91/250) dan Ibnu Abi Syaibah (5/284) dengan sanad yang shahih. Diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Shahih-nya secara mu’allaq.]
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Belajarlah sebelum engkau menjadi pemimpin. Apabila engkau telah menjadi pemimpin maka tidak ada lagi kesempatan untuk belajar.”
KETUJUH: Hendaklah dia membaca di hadapan gurunya di pagi hari berdasarkan hadits Nabi صلى الله عليه وسلم :
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي
بُكُورِهَا
“Ya Allah, berkatilah umatku pada pagi harinya.” [HR Abu Daud (2606). Hadits shahih.]
Di antara perkara yang wajib baginya adalah untuk tidak mendengki (hasad) kepada seorangpun baik dari teman-temannya ataupun yang selain dari mereka terhadap keutamaaan yang Allah Al Karim berikan kepadanya. Jangan pula dia merasa berbangga diri (‘ujub) terhadap apa yang telah berhasil dia dapatkan.
Cara untuk menghilangkan sifat ‘ujub adalah dengan memikirkan bahwasanya apa yang dia dapatkan bukanlah dari usaha dan kekuatannya, akan tetapi itu semua semata-mata merupakan keutamaan dari Allah ta’ala. Oleh karena itu, tidak sepatutnya dia berbangga atas sesuatu yang bukan dia usahakan, justru itu merupakan titipan Allah padanya.
Cara untuk menghilangkan hasad adalah dengan menyadari bahwa hikmah Allah ta’ala menjadikan keutamaan ini diberikan kepada orang itu. Oleh karena itu, sepatutnya dia tidak merasa keberatan atas keutamaan yang didapatkan orang itu dan tidak membenci hikmah yang diinginkan oleh Allah ta’ala.
Demikianlah beberapa adab bagi pelajar Al Qur`an yang disebutkan oleh Imam An Nawawi rahimahullah. Adapun adab-adab bagi pengajar silakan membacanya di sini dan adab-adab bagi penghafal Al Qur`an, silakan membacanya di sini.
والحمد لله رب العالمين