بسم الله الرحمن الرحيم
Berikut ini adalah adab-adab bagi orang yang mengajarkan Al Qur`an secara ringkas. Tulisan ini kami ringkaskan dari kitab At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an karya Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawi rahimahullah dengan perubahan seperlunya yang tidak sampai mengubah makna yang diinginkan penulis, insya Allah.
Perhatian! Ada beberapa hadits dha’if yang disebutkan oleh Imam An Nawawi di dalam tulisan ini. Hadits-hadits dha’if ini tidak kami hapus dan tetap kami nukilkan semata-mata dalam rangka untuk mengetahui hujjah yang disampaikan oleh Imam An Nawawi untuk mendukung adab-adab yang beliau sebutkan. Demikian untuk diperhatikan.
Di antara adab-adab bagi seseorang yang menjadi pengajar Al Qur`an adalah sebagai berikut:
PERTAMA: Meniatkan amalannya untuk mencari ridha Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Mereka tidaklah diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya sebagai hunafa` (orang-orang yang menghadapkan wajah kepada-Nya dan berpaling dari selain-Nya), mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” [QS Al Bayyinah: 5]
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amalan-amalan itu bergantung kepada niat, dan setiap orang mendapatkan (ganjaran) sesuai dengan apa yang dia niatkan.” [HR Al Bukhari (1) dan Muslim (1907)].
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya seseorang itu terjaga (dari dosa) menurut kadar niatnya.”
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Meninggalkan suatu amalan karena manusia adalah riya` dan melakukan suatu amalan karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah Allah menyelamatkan engkau dari kedua hal itu.”
KEDUA: Tidak menjadikan amalannya sebagai jalan untuk mendapatkan kepentingan duniawi, seperti harta, kepemimpinan, kehormatan, ketinggian derajat di antara teman-temannya, pujian manusia, memalingkan perhatian manusia kepadanya, atau yang lain sebagainya.
Allah ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” [QS Asy Syura: 20]
Allah ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (dunia), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki.” [QS Al Isra`: 18]
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عُرْفَ الجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa menuntut ilmu yang (seharusnya hanya) ditujukan untuk (mengharapkan) wajah Allah ‘azza wa jalla, akan tetapi dia tidaklah mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan dengan ilmu itu kepentingan duniawi, maka dia tidak bisa mencium aroma surga pada hari kiamat.” [HR Abu Daud (3664). Hadits shahih.]
Dari Ka’b bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ، أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ
“Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membanggakan diri terhadap ulama, mendebat orang-orang bodoh, atau memalingkan perhatian manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke neraka.” [HR At Tirmidzi (2654). Hadits hasan.]
KETIGA: Tidak berbangga diri dengan banyaknya orang yang belajar kepadanya dan banyaknya orang yang meminta penyelesaian masalah kepadanya. Hendaknya dia waspada dari munculnya rasa dengki jika ada di antara murid-muridnya yang belajar kepada orang lain. Munculnya rasa dengki ini merupakan bukti yang jelas atas kejelekan niatnya dan menunjukkan secara pasti bahwa pengajarannya tidak ditujukan untuk mengharapkan wajah Allah Yang Mulia.
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
يَا حَمَلَةَ الْعِلْمِ، اعْمَلُوا بِهِ، فَإِنَّمَا الْعَالِمَ مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَوَافَقَ عِلْمُهُ عَمَلَهُ. وَسَيَكُونُ أَقْوَامٌ يَحْمِلُونَ الْعِلْمَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيهِمْ، يُخَالِفُ عَمَلُهُمْ عِلْمَهُمْ وَتُخَالِفُ سَرِيرَتُهُمْ عَلَانِيَتَهُمْ، يَجْلِسُونَ حِلَقًا فَيُبَاهِي بَعْضُهُمْ بَعْضًا، حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ لَيُغْضِبُ عَلَى جَلِيسِهِ أَنْ يَجْلِسَ إِلَى غَيْرِهِ وَيَدَعَهُ، أُولَئِكَ لَا تَصْعَدُ أَعْمَالُهُمْ فِي مَجَالِسِهِمْ تِلْكَ إِلَى اللهِ
“Wahai para pembawa ilmu, amalkanlah ilmu. Sesungguhnya seorang yang ‘alim itu adalah orang yang mengamalkan apa yang dia ketahui dan ilmunya sesuai dengan amalannya. Akan muncul beberapa kaum yang membawa ilmu akan tetapi ia tidak sampai melewati tulang selangkanya. Perbuatan mereka menyelisihi ilmu mereka dan perbuatan mereka di saat bersendiri menyelisihi perbuatan mereka di saat berada di hadapan manusia. Mereka duduk berkelompok-kelompok saling membanggakan diri satu sama lain, sampai ada seseorang yang membenci teman duduknya karena dia duduk bersama orang lain dan meninggalkannya. Amalan-amalan mereka di majelis itu tidaklah naik kepada Allah.” [Riwayat Ad Darimi (382). Sanadnya dha’if.]
Imam As Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku menginginkan orang-orang mempelajari ilmu ini -yaitu ilmu-ilmu dan kitab-kitab beliau- tanpa menyandarkannya kepadaku satu hurufpun.”
KEEMPAT: Hendaklah seorang pengajar berperilaku dengan akhlak-akhlak mulia yang telah dituntunkan oleh syariat, seperti zuhud terhadap dunia dan sedikit mengambil darinya, dermawan, berwajah ceria, penyayang, sabar, meninggalkan pekerjaan yang rendah, wara’, bersikap tenang, rendah hati, menjauhi tawa dan banyak bercanda, menjaga kebersihan, menghilangkan bau tak sedap, serta meninggalkan dengki, riya, dan meremehkan orang lain meskipun dia berada di bawahnya.
Hendaklah dia mengamalkan hadits-hadits tentang tasbih, tahlil, zikir-zikir, dan doa-doa, senantiasa ingat kepada pengawasan Allah ta’ala baik ketika sendiri maupun ketika bersama orang lain, dan menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah ta’ala.
KELIMA: Bersikap lembut terhadap orang yang belajar kepadanya, menyambutnya, dan berbuat baik terhadapnya.
Dari Abu Harun Al ‘Abdi, dia berkata: “Kami mendatangi Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu. Lalu dia berkata: “Selamat datang wasiat Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّ النَّاسَ لَكُمْ تَبَعٌ، وَإِنَّ رِجَالًا يَأْتُونَكُمْ مِنْ أَقْطَارِ الْأَرْضِينَ يَتَفَقَّهُونَ فِي الدِّينِ. فَإِذَا أَتَوْكُمْ فَاسْتَوْصُوا بِهِمْ خَيْرًا
“Sesungguhnya orang-orang adalah pengikut kalian. Sesungguhnya orang-orang akan mendatangi kalian dari berbagai penjuru bumi untuk mendalami agama. Apabila mereka datang kepada kalian maka berbuatbaiklah kepada mereka.” [HR At Tirmidzi (2650). Hadits dha’if.]
KEENAM: Hendaklah dia banyak menasehati mereka karena sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasehat.” Kami bertanya: “Kepada siapa?” Beliau menjawab: “Kepada Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan mereka (kaum muslimin) secara umum.” [HR Muslim (55)]
Hendaklah dia menginginkan bagi mereka untuk mendapatkan kebaikan sebagaimana dia menginginkan kebaikan bagi dirinya, dan membenci bagi mereka untuk mendapatkan kejelekan sebagaimana dia membenci kejelekan bagi dirinya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna keimanan salah seorang dari kalian sampai dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” [HR Al Bukhari (13) dan Muslim (45)]
KETUJUH: Tidak meninggikan dirinya terhadap para murid. Bahkan hendaklah dia bersikap lembut dan rendah hati terhadap mereka.
Telah datang riwayat dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
لِينُوا لِمَنْ تُعَلِّمُونَ وَلِمَنْ تَتَعَلَّمُوْنَ مِنْهُ
“Bersikap lemah lembutlah terhadap orang yang kalian ajarkan dan terhadap orang yang kalian belajar darinya.” [HR Al Khathib Al Baghdadi (2/113). Hadits dha’if.]
Ayyub As Sikhtiani rahimahullah berkata: “Sepatutnya bagi seorang alim untuk meletakkan tanah di kepalanya sebagai bentuk kerendahan hati kepada Allah ‘azza wa jalla.”
KEDELAPAN: Hendaklah dia mengajarkan kepada para murid secara bertahap tentang adab-adab sunnah, mendorong mereka secara berulang-ulang untuk tetap menjaga keikhlasan, kejujuran, dan niat baik, serta mengingat pengawasan Allah ta’ala di setiap waktu.
KESEMBILAN: Disukai bagi pengajar untuk bersemangat dalam mengajar mereka dan mendahulukannya atas kepentingan pribadinya yang tidak penting, menyampaikan materi kepada mereka sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing, memerintahkan mereka untuk mengulangi hafalan-hafalan mereka, memuji murid yang cerdas sepanjang tidak menimbulkan fitnah terhadapnya seperti ‘ujub (berbangga diri) dan lainnya, dan menegur murid yang malas.
KESEPULUH: Mendahulukan menyimak siapa yang lebih dahulu hadir. Hendaklah dia menampakkan kepada mereka kegembiraan dan keceriaan, memperhatikan kondisi mereka, dan menanyakan tentang siapa yang tidak hadir dari mereka.
KESEBELAS: Ulama berkata: “Janganlah dia menolak mengajar seseorang dikarenakan niatnya yang tidak benar.”
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah dan yang lainnya berkata: “Dahulu kami menuntut ilmu untuk selain Allah, akan tetapi ilmu itu enggan melainkan hanya untuk Allah.” Maknanya: tujuan akhirnya adalah karena Allah ta’ala.
KEDUA BELAS: Selama mengajar, hendaklah dia menjaga kedua tangannya dan pandangan matanya dari hal-hal yang tidak diperlukan, duduk dalam keadaan suci, menghadap kiblat, duduk dengan tenang, berpakaian putih dan bersih, dan duduk bersila jika dia mau ataupun duduk selain bersila (berlutut).
Abu Bakr bin Abi Daud As Sijistani meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengajarkan Al Qur`an kepada orang-orang di masjid dalam keadaan duduk berlutut.
KETIGA BELAS: Hendaknya dia mengajar di tempat yang lapang agar dapat menampung para murid. Di dalam sebuah hadits dari Nabi صلى الله عليه وسلم :
خَيْرُ الْمَجَالِسِ أَوْسَعُهَا
“Sebaik-baik majelis adalah yang paling lapang.” [HR Abu Daud (4820). Hadits shahih.]
Demikianlah beberapa adab bagi pengajar Al Qur`an yang disebutkan oleh Imam An Nawawi rahimahullah. Adapun adab-adab bagi pelajar Al Qur`an, silakan membacanya di sini, sedangkan adab-adab bagi penghafal Al Qur`an silakan membacanya di sini.
والحمد لله رب العالمين