بسم الله الرحمن الرحيم
Telah lewat pembahasan kita tentang hukum bernazar, lalu jika ada yang bertanya kepada kita: “Bila hukum bernazar secara umum adalah makruh, lalu bagaimana pula hukumnya menepati nazar yang sudah terlanjur diucapkan?”
Maka jawabannya: Nazar terbagi kepada delapan jenis, yaitu:
1. Nazar taat.
Yaitu nazar yang berupa ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Contohnya bernazar untuk bersedekah kepada orang faqir, berpuasa selama beberapa waktu, dan sejenisnya.
Hukum menepati nazar seperti ini adalah wajib, baik pada nazar muqayyad maupun pada nazar muthlaq. Nazar muqayyad adalah nazar yang diiringi dengan syarat. Contohnya seperti perkataan seseorang: “Jika Allah menyembuhkan penyakitku, maka aku akan bersedekah.” Nazar muthlaq (mutlak) adalah nazar yang tidak diiringi dengan syarat. Contohnya seperti perkataan seseorang: “Aku bernazar kepada Allah akan melaksanakan shalat malam.”
Dalil wajibnya menunaikan nazar taat adalah firman Allah ta’ala:
“Maka hendaklah mereka menunaikan nazar mereka.” [QS Al Hajj: 29]
Firman Allah ta’ala:
“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” [QS Al Insan: 7]
Dari sunnah adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Barangsiapa yang bernazar untuk menaati Allah maka taatilah Dia. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat kepada Allah maka janganlah dia bermaksiat kepada-Nya.” [HR Al Bukhari (6696)]
2. Nazar maksiat.
Yaitu nazar yang berupa kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Contohnya bernazar untuk memutuskan hubungan rahim (shilaturrahim) , meninggalkan shalat, membunuh seseorang, dan yang sejenisnya.
Hukum menepati nazar seperti ini adalah haram dan wajib membayar kafarah sumpah menurut pendapat ulama yang rajih.
Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Barangsiapa yang bernazar untuk menaati Allah maka taatilah Dia. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat kepada Allah maka janganlah dia bermaksiat kepada-Nya.” [HR Al Bukhari (6696)]
Di dalam hadits yang lain dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Nazar ada dua macam. Apa yang (ditujukan) untuk Allah (nazar taat) maka kafarahnya adalah menunaikannya. Apa yang (ditujukan) untuk syaithan (nazar maksiat) maka tidak boleh ditunaikan dan wajib atasnya kafarah sumpah.” [HR Al Baihaqi 19865) dan Ibnul Jarud (935). Hadits shahih.]
3. Nazar mubah.
Yaitu nazar yang berupa perkara yang hukumnya adalah mubah (diperbolehkan). Contohnya bernazar untuk memakai pakaian tertentu, menaiki kendaraan tertentu, dan lain sebagainya.
Nazar jenis ini dihukumi sebagai sumpah. Pelakunya diberikan kebebasan untuk memilih menunaikan nazarnya tersebut atau memilih untuk tidak melakukannya dan menggantinya dengan membayar kafarah sumpah.
4. Nazar al lajaj wal ghadhab.
Maknanya adalah nazar yang diucapkan dalam keadaan marah atau berkeras hati ketika terjadi percakapan atau perdebatan. Nazar ini bisa berbentuk perintah untuk melakukan sesuatu, larangan dari melakukan sesuatu, membenarkan sesuatu, ataupun mendustakan sesuatu.
Contohnya: Ada dua orang yang berdebat tentang sesuatu hal. Salah seorang dari mereka mengatakan bahwa hal itu telah terjadi, sedangkan salah seorang yang lain mengatakan bahwa hal itu tidak terjadi. Lantas orang yang pertama tadi berkata: “Jika hal ini benar telah terjadi, maka saya bernazar kepada Allah akan berpuasa selama setahun!”
Nazar jenis ini dianggap sebagai suatu sumpah, dan tidak diniatkan sebagai nazar, hanya bentuknya saja yang mirip dengan nazar. Akan tetapi, yang lebih afdhal (utama) bagi orang yang mengucapkannya untuk menunaikan isi ucapannya itu. Jika dia tidak mampu, maka barulah dia berpindah kepada membayar kafarah sumpah. Wallahu a’lam.
5. Nazar wajib.
Maksudnya adalah nazar yang berupa melaksanakan perkara-perkara yang hukumnya adalah wajib. Contohnya bernazar untuk melaksanakan shalat fardhu lima waktu setiap hari, atau berpuasa di bulan Ramadhan, dan lain sebagainya.
Nazar jenis ini hukumnya adalah tidak sah karena nazar hanya berlaku dalam perkara-perkara yang hukum asalnya tidak wajib, sebagaimana yang tersebut di dalam definisi nazar.
6. Nazar mustahil.
Yaitu nazar dalam perkara-perkara yang tidak mungkin untuk dilakukan oleh seseorang, baik karena syariat melarang hal itu ataupun karena perkara itu memang tidak mungkin untuk dilakukan.
Contoh nazar yang tidak mungkin dilakukan karena dilarang oleh syariat seperti bernazar untuk membebaskan budak orang lain, bernazar untuk menyembelih hewan ternak milik tetangga, dan lain sebagainya. Contoh nazar yang tidak mungkin dilakukan seperti bernazar untuk berpuasa kemarin, bernazar untuk terbang dengan kedua tangannya, dan lain sebagainya.
Nazar jenis ini hukumnya adalah tidak sah dan tidak ada kafarahnya. Dalilnya adalah hadits Tsabit bin Dhahhak radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Tidak ada kewajiban atas keturunan Adam pada nazar yang tidak dia miliki.” [HR Al Bukhari (6047) dan Muslim (110)]
Di dalam riwayat Abu Daud (3313) dengan sanad yang shahih disebutkan:
“Tidak ada penunaian terhadap nazar dalam hal kemaksiatan terhadap Allah dan tidak pula dalam perkara yang tidak dimiliki oleh keturunan Adam.”
7. Nazar perkara yang tidak mampu untuk dilakukan.
Jika seseorang bernazar untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya mungkin untuk dilakukan, akan tetapi dia tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya, maka dia harus membayar kafarah menurut mayoritas ulama. Contohnya seperti orang yang bernazar untuk memberi makan seribu orang padahal dia hanya mampu memberi makan untuk seratus orang saja.
8. Nazar mubham.
Jika seseorang mengucapkan nazar tanpa menyebutkan bentuk nazarnya, maka ini dinamakan nazar mubham (tidak jelas). Contohnya seseorang mengatakan: “Saya bernazar kepada Allah.” Dia tidak menyebutkan isi dari nazarnya.
Nazar seperti ini hukumnya tidak sah dan tidak ada kafarah atas dia. Alasannya adalah karena kafarah sumpah tidak berlaku untuk nazar dan sumpah yang tidak dianggap sah. Ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i rahimahullah.
Adapun mayoritas ulama berpendapat wajib atas dia untuk membayar kafarah. Mereka berdalil dengan hadits Uqbah bin Amir radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Kafarah nazar yang tidak disebutkan (syaratnya) adalah kafarah sumpah.” [HR At Tirmidzi (1528).]
Akan tetapi hadits ini sanadnya lemah karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Muhammad bin Yazid Ats Tsaqafi maula Al Mughirah, dan dia keadaannya majhul hal. Adapun para perawi lain yang tsiqah tidak meriwayatkan lafazh: (إذا لم يسم) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Shahihnya (1645).
FAIDAH:
Apa itu kafarah sumpah? Kafarah sumpah adalah denda yang yang harus dipenuhi oleh seseorang yang melanggar sumpahnya atau nazarnya. Bentuk kafarah yang harus di lakukan adalah:
1. Memilih salah satu dari tiga hal berikut:
a. Memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa dia makan sehari-hari.
b. Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin.
c. Membebaskan seorang budak.
2. Jika tidak mampu melakukan salah satu dari tiga hal di atas maka dia harus berpuasa selama tiga hari.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
“Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja. Maka kafarahnya (melanggar sumpah) adalah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka (kafarahnya) puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarah sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (lalu kalian melanggarnya). Jagalah sumpah-sumpah kalian. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kalian bersyukur (kepada-Nya).” [QS Al Maidah: 89]
Demikianlah pembahasan mengenai hukum memenuhi nazar secara ringkas. Wallahu a'lamu bish shawab.
Maka jawabannya: Nazar terbagi kepada delapan jenis, yaitu:
1. Nazar taat.
Yaitu nazar yang berupa ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Contohnya bernazar untuk bersedekah kepada orang faqir, berpuasa selama beberapa waktu, dan sejenisnya.
Hukum menepati nazar seperti ini adalah wajib, baik pada nazar muqayyad maupun pada nazar muthlaq. Nazar muqayyad adalah nazar yang diiringi dengan syarat. Contohnya seperti perkataan seseorang: “Jika Allah menyembuhkan penyakitku, maka aku akan bersedekah.” Nazar muthlaq (mutlak) adalah nazar yang tidak diiringi dengan syarat. Contohnya seperti perkataan seseorang: “Aku bernazar kepada Allah akan melaksanakan shalat malam.”
Dalil wajibnya menunaikan nazar taat adalah firman Allah ta’ala:
وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Maka hendaklah mereka menunaikan nazar mereka.” [QS Al Hajj: 29]
Firman Allah ta’ala:
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ
وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” [QS Al Insan: 7]
Dari sunnah adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ
فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk menaati Allah maka taatilah Dia. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat kepada Allah maka janganlah dia bermaksiat kepada-Nya.” [HR Al Bukhari (6696)]
2. Nazar maksiat.
Yaitu nazar yang berupa kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Contohnya bernazar untuk memutuskan hubungan rahim (shilaturrahim) , meninggalkan shalat, membunuh seseorang, dan yang sejenisnya.
Hukum menepati nazar seperti ini adalah haram dan wajib membayar kafarah sumpah menurut pendapat ulama yang rajih.
Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ
فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk menaati Allah maka taatilah Dia. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat kepada Allah maka janganlah dia bermaksiat kepada-Nya.” [HR Al Bukhari (6696)]
Di dalam hadits yang lain dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
النَّذْرُ نَذْرَانِ: فَمَا كَانَ
لِلَّهِ فَكَفَّارَتُهُ الْوَفَاءُ، وَمَا كَانَ لِلشَّيْطَانِ فَلا وَفَاءَ فِيهِ
وَعَلَيْهِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ
“Nazar ada dua macam. Apa yang (ditujukan) untuk Allah (nazar taat) maka kafarahnya adalah menunaikannya. Apa yang (ditujukan) untuk syaithan (nazar maksiat) maka tidak boleh ditunaikan dan wajib atasnya kafarah sumpah.” [HR Al Baihaqi 19865) dan Ibnul Jarud (935). Hadits shahih.]
3. Nazar mubah.
Yaitu nazar yang berupa perkara yang hukumnya adalah mubah (diperbolehkan). Contohnya bernazar untuk memakai pakaian tertentu, menaiki kendaraan tertentu, dan lain sebagainya.
Nazar jenis ini dihukumi sebagai sumpah. Pelakunya diberikan kebebasan untuk memilih menunaikan nazarnya tersebut atau memilih untuk tidak melakukannya dan menggantinya dengan membayar kafarah sumpah.
4. Nazar al lajaj wal ghadhab.
Maknanya adalah nazar yang diucapkan dalam keadaan marah atau berkeras hati ketika terjadi percakapan atau perdebatan. Nazar ini bisa berbentuk perintah untuk melakukan sesuatu, larangan dari melakukan sesuatu, membenarkan sesuatu, ataupun mendustakan sesuatu.
Contohnya: Ada dua orang yang berdebat tentang sesuatu hal. Salah seorang dari mereka mengatakan bahwa hal itu telah terjadi, sedangkan salah seorang yang lain mengatakan bahwa hal itu tidak terjadi. Lantas orang yang pertama tadi berkata: “Jika hal ini benar telah terjadi, maka saya bernazar kepada Allah akan berpuasa selama setahun!”
Nazar jenis ini dianggap sebagai suatu sumpah, dan tidak diniatkan sebagai nazar, hanya bentuknya saja yang mirip dengan nazar. Akan tetapi, yang lebih afdhal (utama) bagi orang yang mengucapkannya untuk menunaikan isi ucapannya itu. Jika dia tidak mampu, maka barulah dia berpindah kepada membayar kafarah sumpah. Wallahu a’lam.
5. Nazar wajib.
Maksudnya adalah nazar yang berupa melaksanakan perkara-perkara yang hukumnya adalah wajib. Contohnya bernazar untuk melaksanakan shalat fardhu lima waktu setiap hari, atau berpuasa di bulan Ramadhan, dan lain sebagainya.
Nazar jenis ini hukumnya adalah tidak sah karena nazar hanya berlaku dalam perkara-perkara yang hukum asalnya tidak wajib, sebagaimana yang tersebut di dalam definisi nazar.
6. Nazar mustahil.
Yaitu nazar dalam perkara-perkara yang tidak mungkin untuk dilakukan oleh seseorang, baik karena syariat melarang hal itu ataupun karena perkara itu memang tidak mungkin untuk dilakukan.
Contoh nazar yang tidak mungkin dilakukan karena dilarang oleh syariat seperti bernazar untuk membebaskan budak orang lain, bernazar untuk menyembelih hewan ternak milik tetangga, dan lain sebagainya. Contoh nazar yang tidak mungkin dilakukan seperti bernazar untuk berpuasa kemarin, bernazar untuk terbang dengan kedua tangannya, dan lain sebagainya.
Nazar jenis ini hukumnya adalah tidak sah dan tidak ada kafarahnya. Dalilnya adalah hadits Tsabit bin Dhahhak radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَيْسَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَذْرٌ
فِيمَا لَا يَمْلِكُ
“Tidak ada kewajiban atas keturunan Adam pada nazar yang tidak dia miliki.” [HR Al Bukhari (6047) dan Muslim (110)]
Di dalam riwayat Abu Daud (3313) dengan sanad yang shahih disebutkan:
لا وفاء لنذر في معصية الله ولا
فيما لا يملك ابن آدم
“Tidak ada penunaian terhadap nazar dalam hal kemaksiatan terhadap Allah dan tidak pula dalam perkara yang tidak dimiliki oleh keturunan Adam.”
7. Nazar perkara yang tidak mampu untuk dilakukan.
Jika seseorang bernazar untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya mungkin untuk dilakukan, akan tetapi dia tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya, maka dia harus membayar kafarah menurut mayoritas ulama. Contohnya seperti orang yang bernazar untuk memberi makan seribu orang padahal dia hanya mampu memberi makan untuk seratus orang saja.
8. Nazar mubham.
Jika seseorang mengucapkan nazar tanpa menyebutkan bentuk nazarnya, maka ini dinamakan nazar mubham (tidak jelas). Contohnya seseorang mengatakan: “Saya bernazar kepada Allah.” Dia tidak menyebutkan isi dari nazarnya.
Nazar seperti ini hukumnya tidak sah dan tidak ada kafarah atas dia. Alasannya adalah karena kafarah sumpah tidak berlaku untuk nazar dan sumpah yang tidak dianggap sah. Ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i rahimahullah.
Adapun mayoritas ulama berpendapat wajib atas dia untuk membayar kafarah. Mereka berdalil dengan hadits Uqbah bin Amir radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
كفارة النذر إذا لم يسم كفارة
يمين
“Kafarah nazar yang tidak disebutkan (syaratnya) adalah kafarah sumpah.” [HR At Tirmidzi (1528).]
Akan tetapi hadits ini sanadnya lemah karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Muhammad bin Yazid Ats Tsaqafi maula Al Mughirah, dan dia keadaannya majhul hal. Adapun para perawi lain yang tsiqah tidak meriwayatkan lafazh: (إذا لم يسم) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Shahihnya (1645).
FAIDAH:
Apa itu kafarah sumpah? Kafarah sumpah adalah denda yang yang harus dipenuhi oleh seseorang yang melanggar sumpahnya atau nazarnya. Bentuk kafarah yang harus di lakukan adalah:
1. Memilih salah satu dari tiga hal berikut:
a. Memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa dia makan sehari-hari.
b. Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin.
c. Membebaskan seorang budak.
2. Jika tidak mampu melakukan salah satu dari tiga hal di atas maka dia harus berpuasa selama tiga hari.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ
فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ
أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja. Maka kafarahnya (melanggar sumpah) adalah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka (kafarahnya) puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarah sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (lalu kalian melanggarnya). Jagalah sumpah-sumpah kalian. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kalian bersyukur (kepada-Nya).” [QS Al Maidah: 89]
والحمد لله رب العالمين