Bismillahirrahmanirrahim | Berkata Abdullah ibnu Abbas radhiallahu 'anhu: "Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun yang baru melainkan mereka pasti akan membuat bid'ah baru dan mematikan sunnah sehingga hiduplah bid'ah dan matilah sunnah." Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitab Al Bida' wan Nahyu 'anha | Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullahu ta'ala: "Bid'ah lebih disukai Iblis daripada maksiat karena maksiat akan ditaubati sedangkan bid'ah tidak akan ditaubati." Diriwayatkan oleh Al Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah (1/216) | Berkata Sufyan bin Uyainah rahimahullahu ta'ala: "Barangsiapa yang rusak dari kalangan ulama kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ulama Yahudi dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ahli ibadah Nasrani." |

Larangan dan Mafsadah Ikhtilath (Campur Baur antara Pria dan Wanita yang Bukan Mahram)

بسم الله الرحمن الرحيم

Salah satu kemungkaran yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin adalah bercampur-baurnya antara lelaki dan wanita yang bukan mahram di dalam satu ruangan atau tanpa dibatasi oleh adanya hijab atau pembatas. Mereka saling memandang, berbicara, dan tertawa satu sama lain seolah-olah itu merupakan hal yang biasa saja, padahal ia merupakan suatu perkara yang dapat membuka jalan kepada kemaksiatan lainnya yang lebih besar. Oleh karena itulah syariat Islam sudah dengan tegas dan jelas mengharamkan ikhtilath ini baik di dalam Al Qur`an maupun As Sunnah.

Berikut ini kami akan menyampaikan beberapa mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan dari ikhtilath antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram yang disebutkan oleh Syaikh Yahya bin ‘Ali Al Hajuri hafizhahullah di dalam risalah beliau yang berjudul “Fatwa fi Hukmi Ad Dirasah Al Ikhtilathiyyah”. Ada beberapa perubahan dan penambahan yang kami lakukan tanpa merubah makna dan tujuan dari apa yang ingin disampaikan oleh Syaikh hafizhahullah.

1. Ikhtilath antara lelaki dan wanita yang bukan mahram adalah haram hukumnya.

Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

“Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” [QS Al Ahzab: 53]

Ayat di atas meskipun teksnya berkaitan dengan para sahabat dan istri Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم , akan tetapi konteksnya berlaku untuk seluruh kaum muslimin.

Di dalam hadits dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Janganlah kalian masuk kepada wanita (yang bukan mahram)!” Lalu seorang lelaki bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana menurut anda dengan al hamwu?” Rasul menjawab: “Al Hamwu adalah maut!” [HR Al Bukhari (5232) dan Muslim (2172)]

Al Hamwu adalah kerabat suami yang tidak memiliki hubungan mahram dengan sang istri, seperti paman suami, saudara kandung suami, keponakan suami, dan sepupu suami. Mereka itu tidak boleh berikhtilath dengan sang istri tersebut.

2. Ikhtilath menyebabkan terjadinya pandangan satu sama lain antara pria dan wanita yang bukan mahram.

Hal ini telah dilarang oleh Allah di dalam Al Qur`an:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

“Katakanlah kepada para lelaki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada para wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” [QS An Nur: 30-31]

Dari Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نظر الفجاءة، فأمرني أن أصرف بصري

“Saya bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم tentang pandangan mata yang tidak disengaja. Beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” [HR Muslim (2159)]

Dalil lainnya adalah hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma. Dia berkata:

كَانَ الْفَضْلُ رَدِيفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَتْ امْرَأَةٌ مِنْ خَشْعَمَ فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ وَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الْآخَرِ 

“Fadhl bin Abbas pernah berboncengan bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Lalu datanglah seorang wanita dari Khasy’am (ingin bertemu dan bertanya kepada Rasulullah). Lantas Fadhl memandang wanita tersebut dan wanita itupun memandang kepadanya. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain.” [HR Al Bukhari (1513) dan Muslim (1334).]

3. Ikhtilath merupakan fitnah yang paling pertama menimpa bangsa Yahudi.

Sehingga kaum muslimin yang melakukan ikhtilath, pada hakikatnya mereka telah meniru kerusakan yang ada pada bangsa Yahudi.

Di dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

فاتقوا الدنيا واتقوا النساء فإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء

“Takutlah kalian kepada (fitnah) dunia dan takutlah kepada (fitnah) wanita. Sesungguhnya fitnah yang paling pertama menimpa Bani Israil adalah (fitnah) wanita.” [HR Muslim (2742)]

4. Ketika ikhtilath, tidak jarang terjadi persentuhan antara pria dan wanita yang bukan mahram, baik dalam bentuk salaman atau yang lainnya.

Ini adalah perkara yang diharamkan berdasarkan hadits Ma’qil bin Yasar radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له

“Kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, adalah lebih baik baginya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” [HR Ath Thabrani (486). Hadits shahih.]

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata:

لَا وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ بَايَعَهُنَّ بِالْكَلَامِ

“Tidak, demi Allah! Tangan Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanitapun, akan tetapi beliau membai’at mereka dengan ucapan saja.” [HR Al Bukhari (5288) dan Muslim (1866)]

5. Ikhtilath merupakan salah satu penyebab rusaknya hati.

Oleh karena itulah Allah memerintahkan agar para wanita berhijab dari laki-laki demi tercapainya hati yang bersih dan mulia. Allah berfirman:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

“Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” [QS Al Ahzab: 53]

6. Ikhtilath dapat membuat hilangnya rasa malu seorang wanita terhadap lelaki.

Hal ini berbeda jauh dengan keadaan wanita pada masa kenabian dan pada masa awal-awal Islam di mana mereka itu memiliki sifat malu dan menjaga kehormatan diri yang sangat besar. Keadaan ini digambarkan di dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا

“Nabi صلى الله عليه وسلم lebih pemalu daripada gadis perawan di balik tirainya.” [HR Al Bukhari (3562) dan Muslim (2320)]

Hadits di atas menggambarkan tentang keadaan para wanita perawan pada masa itu yang amat pemalu. Lantas bagaimanakah dengan para gadis perawan pada masa kini yang telah terbiasa dengan ikhtilath?

7. Ikhtilath dapat membuat hilangnya rasa cemburu seorang lelaki terhadap istrinya dengan lelaki lain, ataupun sebaliknya dapat menghilangkan rasa cemburu seorang wanita terhadap suaminya dengan wanita lain.

Rasa cemburu terhadap mahram merupakan sifat mulia yang dimiliki oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dan para sahabat beliau. Di dalam hadits Al Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu disebutkan:

قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ: لَوْ رَأَيْتُ رَجُلًا مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفَحٍ. فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي

“Sa’d bin ‘Ubadah berkata: “Kalau seandainya aku melihat seorang lelaki (yang bukan mahram) ada bersama istriku, niscaya dia akan aku pukul dengan pedang tanpa ampun!” Lalu sampailah perkataan itu kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan beliau berkata: “Apakah kalian heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih pencemburu darinya, dan Allah lebih pencemburu dariku.” [HR Al Bukhari (6846) dan Muslim (1499)]

8. Ikhtilath merupakan jalan menuju zina.

Hal ini sudah sangat jelas karena perzinaan terjadi dimulai dari pandangan mata, lalu hati menginginkannya, lalu kemaluanlah yang melaksanakannya. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas keturunan Adam bagiannya dari zina. Dia pasti mendapatkannya, tidak bisa dihindari. Zina mata adalah memandang, zina lisan adalah ucapan, nafsu membayangkan dan menginginkan, dan kemaluan membenarkan itu semua ataupun mendustakannya.” [HR Al Bukhari (6243) dan Muslim (2657)]

Demikianlah beberapa kerusakan yang ditimbulkan dari peristiwa ikhtilath antara pria dan wanita yang bukan mahram di dalam satu tempat. Semoga Allah ‘azza wa jalla memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberikan pemahaman kepada mereka tentang syariat Islam. Amin ya Allah.

والحمد لله رب العالمين