بسم الله الرحمن الرحيم
Segala bentuk amalan ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata dan tidak boleh ditujukan kepada selain-Nya sedikitpun juga.
Beramal untuk selain Allah hukumnya adalah terlarang, baik yang bercampur dengan syirik ataupun yang bercampur dengan riya` atau sum’ah. Berikut ini adalah beberapa perincian hukum amal ibadah yang diniatkan untuk selain Allah ‘azza wa jalla.
A. Ibadah yang ditujukan kepada selain Allah yang berupa kesyirikan.
Hukum amalan ibadah seperti ini jelas-jelas diharamkan dan merupakan dosa yang terbesar dan tidak diampuni oleh Allah ta’ala bila tidak bertaubat sebelum meninggal dunia. Pelakunya dihukumi sebagai kafir yang telah keluar dari Islam.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” [QS An Nisa`: 48]
Bukan hanya ibadah itu yang tidak diterima oleh Allah, bahkan seluruh pahala dan kebaikan yang pernah dia lakukan selama hidupnya akan ikut terhapus pula. Allah berfirman:
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah amalanmu dan tentulah kamu ermasuk orang-orang yang merugi.” [QS Az Zumar: 65]
B. Melakukan amal ibadah dengan riya` atau sum’ah tujuan semata-mata untuk mendapatkan keuntungan duniawi tertentu.
Amalan seperti ini hukumnya adalah batal dan tertolak sepenuhnya, dan ia merupakan salah satu sifat utama dari orang-orang munafik. Pelakunya berhak untuk mendapatkan kemurkaan dan hukuman dari Allah.
Allah berfirman menerangkan tentang keadaan shalatnya kaum munafik:
“Apabila mereka (kaum munafik) berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia, dan mereka tidaklah menyebut Allah kecuali hanya sedikit sekali.” [QS An Nisa`: 142]
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
“Kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya.” [QS Al Ma’un: 4-6]
C. Melakukan amalan untuk Allah, namun ada unsur riya` yang bercampur di dalam niatnya. Hal ini terbagi kepada dua keadaan:
1. Apabila niat riya` itu pada dasarnya sudah ada sejak awal, maka amalannya itu adalah batil dan batal.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Allah tabaraka wa ta’ala berkata: Aku adalah yang paling tidak butuh kepada persekutuan. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan, yang dia itu menyekutukan-Ku dengan sesuatu selain diri-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya itu.” [HR Muslim (2985)]
Ini juga merupakan pendapat dari beberapa ulama salaf, seperti Ubadah ibnu Ash Shamit, Abu Ad Darda`, Al Hasan Al Bashri, Sa’id ibnul Musayyab, dll.
2. Apabila niat asal/pokok amalan itu adalah untuk Allah, namun kemudian muncul padanya niat riya, maka di sini ada dua keadaan:
a. Apabila ketika niat riya ini muncul dia berusaha untuk menghilangkannya, maka amalannya tetap sah dan tidak terpengaruh dengan hal tersebut.
b. Apabila dia tidak berusaha untuk menghilangkan niat riya itu sehingga niat itu tetap ada pada amalan itu, dalam hal ini para ulama berselisih tentang hukum amalan tersebut: apakah amalannya batal secara total, ataukah dia tetap mendapatkan pahala berdasarkan niat asalnya yang pertama (untuk Allah).
Pendapat yang dirajihkan oleh Al Hasan Al Bashri, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu Jarir Ath Thabari adalah pendapat yang menyatakan bahwa amalannya tidak batal dan dia masih mendapatkan pahala atas niat asalnya yang ditujukan untuk Allah.
Namun di sini haruslah dibedakan antara amalan yang bersambung antara awal dan akhirnya dengan amalan yang terputus antara awal dan akhirnya.
Apabila amalan itu bersambung antara awal dan akhirnya -seperti shalat, puasa, dan haji- maka amalannya tidaklah batal dan dia masih mendapatkan pahala atas niat utamanya yang ditujukan untuk Allah.
Sedangkan apabila amalan itu terputus antara awal dan akhirnya -seperti membaca Al Qur`an, zikir, sedekah, berdakwah, dll- maka pahala amalan itu akan terputus pahalanya dengan munculnya niat riya tersebut, sehingga dia harus memperbaharui lagi niatnya dengan niat yang ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla.
D. Melakukan amalan ikhlas karena Allah semata-mata, kemudian datanglah pujian dari orang-orang terhadap amalan yang dia lakukan itu sehingga diapun merasa senang atas pujian tersebut.
Dalam keadaan seperti ini, pujian manusia terhadapnya dan kegembiraannya atas pujian tersebut tidaklah merusakkan amalannya tersebut, karena pujian itu sebenarnya adalah suatu kabar gembira dari Allah yang disegerakan terhadapnya.
Dari Abu Dzarr Al Ghifari radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
“Rasulullah صلى الله عليه وسلم ditanya: “Bagaimanakah menurut anda tentang seseorang yang melakukan suatu kebaikan lalu manusia memujinya?” Nabi menjawab: “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” [HR Muslim (2642)]
Demikianlah beberapa perincian hukum melakukan amalan untuk selain Allah. Semoga bermanfaat
Sumber: Disadur dengan perubahan dan penambahan seperlunya dari kitab Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam karya Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah.
Beramal untuk selain Allah hukumnya adalah terlarang, baik yang bercampur dengan syirik ataupun yang bercampur dengan riya` atau sum’ah. Berikut ini adalah beberapa perincian hukum amal ibadah yang diniatkan untuk selain Allah ‘azza wa jalla.
A. Ibadah yang ditujukan kepada selain Allah yang berupa kesyirikan.
Hukum amalan ibadah seperti ini jelas-jelas diharamkan dan merupakan dosa yang terbesar dan tidak diampuni oleh Allah ta’ala bila tidak bertaubat sebelum meninggal dunia. Pelakunya dihukumi sebagai kafir yang telah keluar dari Islam.
Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ
بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ
افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Bukan hanya ibadah itu yang tidak diterima oleh Allah, bahkan seluruh pahala dan kebaikan yang pernah dia lakukan selama hidupnya akan ikut terhapus pula. Allah berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
B. Melakukan amal ibadah dengan riya` atau sum’ah tujuan semata-mata untuk mendapatkan keuntungan duniawi tertentu.
Amalan seperti ini hukumnya adalah batal dan tertolak sepenuhnya, dan ia merupakan salah satu sifat utama dari orang-orang munafik. Pelakunya berhak untuk mendapatkan kemurkaan dan hukuman dari Allah.
Allah berfirman menerangkan tentang keadaan shalatnya kaum munafik:
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ
قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
C. Melakukan amalan untuk Allah, namun ada unsur riya` yang bercampur di dalam niatnya. Hal ini terbagi kepada dua keadaan:
1. Apabila niat riya` itu pada dasarnya sudah ada sejak awal, maka amalannya itu adalah batil dan batal.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
قال الله تبارك وتعالى: أنا أغنى الشركاء
عن الشرك، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه
Ini juga merupakan pendapat dari beberapa ulama salaf, seperti Ubadah ibnu Ash Shamit, Abu Ad Darda`, Al Hasan Al Bashri, Sa’id ibnul Musayyab, dll.
2. Apabila niat asal/pokok amalan itu adalah untuk Allah, namun kemudian muncul padanya niat riya, maka di sini ada dua keadaan:
a. Apabila ketika niat riya ini muncul dia berusaha untuk menghilangkannya, maka amalannya tetap sah dan tidak terpengaruh dengan hal tersebut.
b. Apabila dia tidak berusaha untuk menghilangkan niat riya itu sehingga niat itu tetap ada pada amalan itu, dalam hal ini para ulama berselisih tentang hukum amalan tersebut: apakah amalannya batal secara total, ataukah dia tetap mendapatkan pahala berdasarkan niat asalnya yang pertama (untuk Allah).
Pendapat yang dirajihkan oleh Al Hasan Al Bashri, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu Jarir Ath Thabari adalah pendapat yang menyatakan bahwa amalannya tidak batal dan dia masih mendapatkan pahala atas niat asalnya yang ditujukan untuk Allah.
Namun di sini haruslah dibedakan antara amalan yang bersambung antara awal dan akhirnya dengan amalan yang terputus antara awal dan akhirnya.
Apabila amalan itu bersambung antara awal dan akhirnya -seperti shalat, puasa, dan haji- maka amalannya tidaklah batal dan dia masih mendapatkan pahala atas niat utamanya yang ditujukan untuk Allah.
Sedangkan apabila amalan itu terputus antara awal dan akhirnya -seperti membaca Al Qur`an, zikir, sedekah, berdakwah, dll- maka pahala amalan itu akan terputus pahalanya dengan munculnya niat riya tersebut, sehingga dia harus memperbaharui lagi niatnya dengan niat yang ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla.
D. Melakukan amalan ikhlas karena Allah semata-mata, kemudian datanglah pujian dari orang-orang terhadap amalan yang dia lakukan itu sehingga diapun merasa senang atas pujian tersebut.
Dalam keadaan seperti ini, pujian manusia terhadapnya dan kegembiraannya atas pujian tersebut tidaklah merusakkan amalannya tersebut, karena pujian itu sebenarnya adalah suatu kabar gembira dari Allah yang disegerakan terhadapnya.
Dari Abu Dzarr Al Ghifari radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
قيل لرسول الله صلى الله عليه وسلم:
أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير ويحمده الناس عليه؟ قال: تلك عاجل بشرى المؤمن
Demikianlah beberapa perincian hukum melakukan amalan untuk selain Allah. Semoga bermanfaat
والحمد لله رب العالمين