بسم الله الرحمن الرحيم
Sebagian orang merasa ragu tentang hukum mandi dalam keadaan membuka seluruh aurat, apakah boleh ataukah tidak. Di antara hal yang menyebabkan keraguan ini adalah sebuah hadits dari Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
قلت: يا نبي الله، عوراتنا، ما نأتي منها وما نذر؟ قال: احفظ عورتك إلا من زوجتك أو ما ملكت يمينك. قلت: يا رسول الله، إذا كان القوم بعضهم في بعض؟ قال: إن استطعت أن لا يراها أحد فلا يراها. قال: قلت: يا نبي الله، إذا كان أحدنا خاليا؟ قال: فالله أحق أن يستحيي منه من الناس
“Saya bertanya: “Wahai Nabi Allah, aurat kita, manakah yang harus kita tutup dan manakah yang boleh kita tampakkan?” Nabi menjawab: “Jagalah auratmu kecuali terhadap istrimu atau budak (wanita)mu.” Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, apabila sekelompok orang sedang berkumpul bersama?” Nabi menjawab: “Jika engkau mampu agar auratmu tidak bisa dilihat oleh seorangpun maka (usahakan) jangan sampai ada orang yang bisa melihatnya.” Saya bertanya: “Wahai Nabi Allah, apabila salah seorang dari kita sendirian?” Nabi menjawab: “Allah lebih pantas bagi dia untuk malu terhadap-Nya daripada (malu) terhadap manusia.” [HR At Tirmidzi (2794). Hadits hasan.]
Hadits di atas menerangkan bahwa jikalau kita malu untuk menampakkan aurat di hadapan orang lain, maka tentunya kita lebih patut lagi untuk malu kepada Allah jika kita membuka aurat ketika mandi.
Penjelasan yang benar dalam masalah ini, insya Allah, adalah bolehnya bagi seseorang untuk mandi dalam keadaan menyingkap seluruh aurat asalkan dilakukan di tempat yang tertutup atau jauh dari pandangan manusia agar mereka tidak dapat melihat kepada auratnya. Ada beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya seseorang untuk mandi telanjang. Di antara dalilnya adalah:
1. Kisah Nabi Musa صلى الله عليه وسلم .
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ يَغْتَسِلُونَ عُرَاةً يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ، وَكَانَ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْتَسِلُ وَحْدَهُ. فَقَالُوا: وَاللَّهِ، مَا يَمْنَعُ مُوسَى أَنْ يَغْتَسِلَ مَعَنَا إِلَّا أَنَّهُ آدَرُ. فَذَهَبَ مَرَّةً يَغْتَسِلُ فَوَضَعَ ثَوْبَهُ عَلَى حَجَرٍ. فَفَرَّ الْحَجَرُ بِثَوْبِهِ. فَخَرَجَ مُوسَى فِي إِثْرِهِ يَقُولُ: ثَوْبِي يَا حَجَرُ! حَتَّى نَظَرَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِلَى مُوسَى، فَقَالُوا: وَاللَّهِ، مَا بِمُوسَى مِنْ بَأْسٍ. وَأَخَذَ ثَوْبَهُ فَطَفِقَ بِالْحَجَرِ ضَرْبًا. فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: وَاللَّهِ إِنَّهُ لَنَدَبٌ بِالْحَجَرِ سِتَّةٌ أَوْ سَبْعَةٌ ضَرْبًا بِالْحَجَرِ
“Masyarakat Bani Israil biasa mandi bersama dalam keadaan telanjang. Mereka saling melihat kepada (aurat) yang lainnya. Sedangkan Musa صلى الله عليه وسلم mandi sendirian. Berkatalah masyarakat Bani Israil: “Demi Allah, Musa itu tidak mau mandi bersama kita pasti karena buah pelirnya besar.”
Pada suatu ketika, Musa pergi mandi. Dia meletakkan pakaiannya di atas sebuah batu. Lalu batu tersebut bergerak pergi sambil membawa pakaiannya. Musa pun mengejar batu tersebut di belakangnya sambil berkata: “Wahai batu, kembalikan bajuku!” Kaum Bani Israil melihat kepada Musa dan berkata: “Demi Allah, ternyata Musa tidak memiliki kelainan apapun.”
Lalu Musa mengambil bajunya dan langsung memukul batu tersebut.” Abu Hurairah berkata: “Demi Allah, pada batu tersebut terdapat enam atau tujuh tanda bekas pukulan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di dalam Shahih-nya (nomor 278) dan Imam Muslim di dalam Shahih-nya (nomor 339).
2. Kisah Nabi Ayyub صلى الله عليه وسلم .
بَيْنَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا فَخَرَّ عَلَيْهِ جَرَادٌ مِنْ ذَهَبٍ، فَجَعَلَ أَيُّوبُ يَحْتَثِي فِي ثَوْبِهِ. فَنَادَاهُ رَبُّهُ: يَا أَيُّوبُ، أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى؟ قَالَ: بَلَى وَعِزَّتِكَ، وَلَكِنْ لَا غِنَى بِي عَنْ بَرَكَتِكَ
“Ketika (Nabi) Ayyub sedang mandi dalam keadaan telanjang, jatuhlah belalang-belalang dari emas di dekatnya. Lalu Ayyub menciduk (belalang-belalang emas itu) ke dalam pakaiannya. Maka Rabbnya memanggilnya: “Wahai Ayyub, bukankah Aku telah mencukupkan (rizki) bagimu dari (selain) apa yang engkau lihat?” Ayyub menjawab: “Benar (wahai Allah) demi keagungan-Mu, akan tetapi tidak cukup bagiku untuk (tidak mengambil) keberkahan-Mu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di dalam Shahih-nya (nomor 279).
Kedua hadits di atas menerangkan bahwa Nabi Musa dan Ayyub ‘alaihimas salam mandi dalam keadaan telanjang. Jika ada yang mengkritik bahwa ini adalah syariat umat terdahulu dan tidak lagi berlaku pada umat Muhammad, maka hal ini telah dijawab oleh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fathul Bari (1/386) bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم menceritakan kedua peristiwa kepada para sahabat tanpa ada catatan apapun dari beliau. Ini menunjukkan bahwa perbuatan kedua nabi tersebut diakui di dalam syariat kita. Kalau seandainya hal ini tidak diakui oleh syariat kita, maka pastilah Nabi صلى الله عليه وسلم telah menerangkannya kepada kita.
3. Kisah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم mandi bersama Aisyah radhiallahu ‘anha.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah mandi bersama istri beliau Aisyah di dalam satu ruangan pada waktu yang sama. Aisyah berkata:
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ تَخْتَلِفُ أَيْدِينَا فِيهِ
“Saya pernah mandi (janabah) bersama Nabi صلى الله عليه وسلم dari satu bejana dan tangan kami saling bergantian (mengambil air) di dalamnya.” [HR Al Bukhari (261) dan Muslim (321)]
4. Kisah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم mandi bersama Maimunah radhiallahu ‘anha.
Dari Abdullah ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
أخبرتني ميمونة أنها كانت تغتسل هي والنبي صلى الله عليه وسلم في إناء واحد
“Maimunah telah mengabarkan kepada saya bahwa dia pernah mandi bersama Nabi صلى الله عليه وسلم dari satu bejana.” [HR Muslim (322)]
Walaupun kedua hadits di atas tidak secara jelas menyatakan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم mandi telanjang, akan tetapi para ulama berdalil dengan hadits ini tentang bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya ataupun sebaliknya. Silakan melihat kalam Ibnu Hajar di Fathul Bari (1/364).
Adapun hadits-hadits yang melarang seseorang untuk melihat aurat istrinya, maka seluruhnya adalah lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammmad Nashiruddin Al Albani di dalam kitabnya Aadabuz Zifaf (h. 109).
Lantas bagaimana dengan hadits Muawiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu di atas yang menerangkan bahwa kita harus malu kepada Allah ta'ala jika mandi dalam keadaan telanjang?
Jawabannya adalah hadits Muawiyah bin Haidah menunjukkan bahwa mandi dalam keadaan menutup aurat adalah lebih utama dan lebih sempurna, bukan wajib. Al Munawi berkata: “Asy Syafi’iyyah membawa hadits ini kepada hukum an nadb (lebih utama). Di antara yang mendukung pendapat mereka adalah Ibnu Jarir. Dia menafsirkan hadits ini di kitab Tahdzibul Aatsar kepada hukum nadb. Dia berkata: “Karena Allah ta’ala tidak tersembunyi darinya segala sesuatu dari makhluk-Nya, baik telanjang ataupun tidak telanjang.”
Pendapat ini juga didukung Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam kitab Fathul Bari (1/386) . Demikian ringkasan yang kami ambil dari penjelasan Syaikh Al Albani rahimahullah di dalam kitab Aadabuz Zifaf (h. 112-113)
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa mandi dalam keadaan telanjang hukumnya adalah diperbolehkan dengan syarat auratnya tidak terlihat oleh orang lain selain istri atau budak wanita. Akan tetapi, yang lebih utama dalam hal ini adalah mandi dengan menutup auratnya.
FAIDAH:
Pembahasan di atas, wallahu a’lam, juga berlaku untuk wudhuk. Apabila seseorang selesai dari mandi atau selesai dari buang air besar lalu berwudhuk dalam keadaan telanjang maka hukum wudhuknya adalah sah karena berwudhuk tidak disyaratkan harus dalam keadaan menutup aurat.
Akan tetapi, yang lebih baik dan utama bagi dia adalah untuk berwudhuk dalam keadaan menutup aurat karena dia sudah tidak lagi perlu untuk membuka auratnya. Berbeda halnya dengan mandi atau buang hajat, maka dia perlu untuk membuka pakaiannya. Apabila dia setelah selesai mandi atau menunaikan hajat ingin berwudhuk, maka yang lebih utama bagi dia adalah berwudhuk dengan menutup auratnya. Demikian makna dari fatwa Syaikh Al Utsaimin rahimahullah di dalam Liqaul Babil Maftuh (17/220).
Wallahu a’lam bish shawab.
والحمد لله رب العالمين