Bismillahirrahmanirrahim | Berkata Abdullah ibnu Abbas radhiallahu 'anhu: "Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun yang baru melainkan mereka pasti akan membuat bid'ah baru dan mematikan sunnah sehingga hiduplah bid'ah dan matilah sunnah." Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitab Al Bida' wan Nahyu 'anha | Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullahu ta'ala: "Bid'ah lebih disukai Iblis daripada maksiat karena maksiat akan ditaubati sedangkan bid'ah tidak akan ditaubati." Diriwayatkan oleh Al Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah (1/216) | Berkata Sufyan bin Uyainah rahimahullahu ta'ala: "Barangsiapa yang rusak dari kalangan ulama kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ulama Yahudi dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ahli ibadah Nasrani." |

Hukum Azan dan Iqamah bagi Wanita

بسم الله الرحمن الرحيم

Para ulama berselisih tentang hukum mengumandangkan azan dan iqamah bagi seorang wanita ke dalam tiga pendapat.

Pendapat pertama: Azan dan iqamah keduanya tidak disunnahkan bagi para wanita.

Alasannya adalah karena azan berfungsi untuk memanggil kaum pria untuk berkumpul melaksanakan shalat berjamaah ke masjid, sehingga tidak boleh dilakukan oleh wanita. Ini adalah pendapatnya Abu Hanifah, Asy Syafi’i (dalam salah satu riwayat dari beliau), dan Ahmad (dalam salah satu riwayat dari beliau).

Pendapat kedua: Iqamah disunnahkan, sedangkan azan tidak.

Ini adalah pendapat mazhab Asy Syafi’i (pendapat mayoritas), Malik, dan Ahmad (dalam salah satu riwayat dari beliau).

Pendapat ketiga: Azan dan iqamah keduanya disunnahkan bagi wanita.

Ini adalah pendapatnya Imam Ahmad (dalam salah satu riwayat dari beliau), Asy Syafi’i (dalam salah satu riwayat dari beliau), dan Ibnu Hazm.

Dari ketiga pendapat di atas, yang lebih kuat -Allahu a’lam- adalah pendapat yang ketiga. Alasannya adalah karena ada atsar dari beberapa sahabat yang menunjukkan bolehnya wanita mengumandangkan azan dan iqamah.

Di antaranya adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al Mushannaf (1/223) dengan sanad yang shahih dari Sulaiman At Taimi, dia berkata: Kami bertanya kepada Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu apakah azan itu wajib bagi wanita. Anas menjawab: “Tidak wajib. Akan tetapi jika mereka melakukannya maka azan itu adalah zikir.”

Makna ucapan Anas bin Malik adalah azan itu tidak wajib atas kaum wanita. Akan tetapi jika mereka tetap ingin mengumandangkan azan, maka tidaklah mengapa karena azan adalah salah satu dari jenis zikir kepada Allah. Sebagaimana mereka tidak dilarang untuk berzikir, maka begitupula halnya dengan azan.

Atsar lainnya yang menunjukkan bolehnya wanita mengumandangkan azan dan iqamah adalah atas dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu. Pada suatu ketika beliau ditanya tentang hukum azan bagi wanita. Lantas beliau marah dan berkata: “(Patutkah) saya melarang (wanita) dari berzikir kepada Allah?!”

Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al Mushannaf (1/223) dengan sanad yang hasan.

PERHATIAN:

1. Bolehnya seorang wanita mengumandangkan azan dan iqamah tidak berlaku secara mutlak. Ia harus memenuhi empat syarat berikut ini:

a. Azan dan iqamah ini hanya boleh ditujukan untuk sesama kaum wanita saja. Tidak boleh bagi seorang wanita mengumandangkan azan untuk memanggil kaum lelaki.

b. Azan dan iqamah ini hanya boleh dilakukan di lingkungan khusus wanita.

c. Tidak boleh mengumandangkan azan dengan suara keras yang dapat terdengar oleh kaum lelaki.

d. Khusus untuk azan, ia hanya dilakukan apabila tidak ada atau tidak terdengar suara azan dari masjid lainnya. Jika sudah ada azan dari masjid lainnya, maka tidak perlu lagi bagi mereka untuk melakukan azan. Wallahu a’lam.

2. Dari berbagai pendapat ulama di atas, dapat kita ketahui bahwa tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan bahwa azan itu diwajibkan atas kaum wanita. Mereka hanya berselisih dalam hal disunnahkan atau tidaknya saja bagi wanita.

Wallahu a’lamu bish shawab.

والحمد لله رب العالمين

Sumber: Disadur dengan perubahan seperlunya oleh admin dari Kitabush Shalah min Bulughil Maram karya Syaikh Muhammad bin Hizam Al Ba’dani hafizhahullah ta’ala.