بسم الله الرحمن الرحيم
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab Sunan Abi Daud (2178), Ibnu Majah di dalam kitab Sunan Ibnu Majah (2018), Al Baihaqi di dalam kitab As Sunan Al Kubra (15292), Ibnu ‘Adi di kitab Al Kamil (4/323) , dan lain-lain.
Abu Daud dan Al Baihaqi meriwayatkan hadits ini dari jalur Muhammad bin Khalid dari Mu’arrif bin Washil dari Muharib bin Ditsar dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu. Ibnu Majah meriwayatkannya dari jalur Muhammad bin Khalid Al Wahibi dari Ubaidullah ibnul Walid Al Washshafi dari Muharib bin Ditsar dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu. Sedangkan Ibnu ‘Adi meriwayatkannya dari jalur Isa bin Yunus dari Ubaidullah ibnul Walid Al Washshafi dari Muharib bin Ditsar dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu.
Imam Al Hakim juga meriwayatkan hadits Abdullah bin Umar di atas dengan lafazh yang semakna yang berbunyi sebagai berikut:
مَا أَحَلَّ اللهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ
“Tidaklah Allah pernah menghalalkan sesuatu yang lebih Dia benci daripada perceraian.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Hakim di dalam kitab Al Mustadrak( 2/147/2794) dari jalan Ahmad bin Yunus dari Mu’arrif bin Washil dari Muharib bin Ditsar dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim rahimahullah dan disetujui oleh Adz Dzahabi dengan mengatakan: “(Hadits ini) sesuai dengan syarat Muslim.” As Suyuthi menilai hadits ini shahih di dalam kitab Al Jami’ush Shaghir, akan tetapi Al Munawi di dalam Faidhul Qadir (5/413 ) mengingkari hal ini dengan mengatakan bahwa ini tidaklah benar.
Sanggahan yang disebutkan oleh Al Munawi adalah benar. Alasannya adalah karena meskipun zhahir sanad hadits Ibnu Umar adalah marfu’ sampai kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم , akan tetapi sebenarnya hadits ini adalah mursal karena hanya sampai kepada Muharib bin Ditsar dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم tanpa menyebutkan Abdullah bin Umar.
Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani rahimahullah di dalam kitab At Talkhishul Habir (4/380/1725) berkata: “Abu Hatim dan Ad Daruquthni di kitab Al ‘Ilal dan Al Baihaqi merajihkan (hadits ini adalah) mursal. Ibnul Jauzi juga menyebutkan (hadits) ini di kitab Al ‘Ilal Al Mutanahiah dengan sanad Ibnu Majah dan melemahkannya dengan sebab ‘Ubaidullah ibnul Walid Al Washshafi, dan dia adalah seorang yang lemah.” Beliau juga berkata: “Ad Daruquthni juga meriwayatkan ini dari jalur Makhul dari Muadz bin Jabal dengan lafazh (مَا أَحَلَّ اللهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ) dan sanadnya lemah dan juga munqathi’. Ad Daruquthni berkata: “Hukum mursal lebih tepat.” Al Baihaqi berkata: “Sanad yang muttashil tidak mahfuzh.”
Syaikh Al Albani rahimahullah di dalam kitab Irwa`ul Ghalil (7/108) berkata: “Kesimpulannya adalah bahwa hadits ini diriwayatkan oleh empat orang yang tsiqah dari Mu’arrif bin Washil, yaitu: Muhammad bin Khalid Al Wahibi, Ahmad bin Yunus, Waki’ ibnul Jarrah, dan Yahya bin Bukair. Mereka telah berselisih dalam hal ini. Orang yang pertama dari mereka (Muhammad bin Khalid) meriwayatkan hadits darinya (Mu’arrif) dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Umar secara marfu’. Sedangkan yang lainnya (meriwayatkannya) darinya dari Muharib secara mursal. Orang yang memahami ilmu hadits tidaklah ragu bahwa riwayat ketiga orang ini lebih rajih karena mereka lebih banyak jumlahnya dan lebih kokoh hafalannya karena mereka semua adalah termasuk orang-orang yang dipegang sebagai hujjah oleh dua syaikh (Al Bukhari dan Muslim) di dalam dua kitab Shahih mereka. Maka benarlah jika Ibnu Abi Hatim dari ayahnya merajihkan irsal sebagaimana yang telah lewat, dan begitu pula Ad Daruquthni di kitab Al ‘Ilal dan Al Baihaqi sebagaimana disebutkan oleh Al Hafizh di kitab At Talkhish (3/205). Al Khaththabi, dan diikuti oleh Al Mundziri di Mukhtasharus Sunan (3/92), berkata: “Yang masyhur mengenai (derajat hadits) ini adalah mursal.”
Al Albani juga menolak pendapat yang menyatakan bahwa riwayat dari jalur Al Washshafi bisa dijadikat sebagai mutaba’ah (jalur alternatif) bagi jalur yang lain yang dapat mengangkat derajat hadits Ibnu Umar. Beliau berkata: “Kami tidak bisa mengatakan bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah ibnul Walid Al Washshafi dari Muharib dst secara maushul sehingga hal ini memperkuat bahwa hadits ini hukumnya maushul, karena kami mengatakan bahwa telah lewat (penilaian) dari Ibnu ‘Adi bahwa Al Washshafi ini adalah sangat lemah sehingga tidak bisa diperkuat dengannya sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam ilmu Mushthalah.”
Kesimpulan: Hadits Abdullah bin Umar radhiallahu 'amhu yang menerangkan perkara halal yang paling dibenci Allah ta'ala adalah perceraian adalah hadits lemah karena ia merupakan hadits mursal. Wallahu ta’ala a’lamu bish shawab.
وبالله التوفيق