Bismillahirrahmanirrahim | Berkata Abdullah ibnu Abbas radhiallahu 'anhu: "Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun yang baru melainkan mereka pasti akan membuat bid'ah baru dan mematikan sunnah sehingga hiduplah bid'ah dan matilah sunnah." Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah di dalam kitab Al Bida' wan Nahyu 'anha | Berkata Sufyan Ats Tsauri rahimahullahu ta'ala: "Bid'ah lebih disukai Iblis daripada maksiat karena maksiat akan ditaubati sedangkan bid'ah tidak akan ditaubati." Diriwayatkan oleh Al Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah (1/216) | Berkata Sufyan bin Uyainah rahimahullahu ta'ala: "Barangsiapa yang rusak dari kalangan ulama kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ulama Yahudi dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan ahli ibadah Nasrani." |

Hukum Berzina di Siang Hari Bulan Ramadhan

بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum. Saya mau bertanya, apakah orang yang berzina di siang hari pada bulan Ramadhan dosanya tidak bisa diampuni? Jika orang tersebut ingin bertaubat apa yang harus dia lakukan agar dosa-dosanya diampuni? Kemudian bagaimana pertanggungjawabannya atas puasa itu?

Jawaban:

Wa'alaikumussalam warahmatullah.

Zina adalah salah satu dosa besar yang wajib untuk dihindari oleh setiap hamba. Banyak dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah yang menerangkan tentang hukuman bagi pelaku zina, baik berupa hukuman di dunia maupun hukuman di akhirat kelak. Apabila seseorang  telah terjatuh ke dalamnya, maka dia wajib untuk bertaubat darinya, menyesali perbuatannya, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya di waktu yang lain.

Seluruh dosa seberapapun besarnya dan seberapapun banyaknya, jika seseorang memohon ampun kepada Allah ta’ala dan bertaubat bertaubat darinya maka Allah akan mengampuninya, sepanjang dia tidak melakukan kesyirikan. Allah ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” [QS An Nisa: 48]

Ayat di atas menerangkan bahwa segala dosa selain syirik maka Allah mengampuninya seberapapun besarnya. Dalam sebuah hadits dari Abu Dzarr radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

ذَاكَ جِبْرِيلُ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ؟ قَالَ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ

“Itu adalah Jibril, dia mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwa barangsiapa di antara umatku yang meninggal dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun maka dia akan masuk surga.” Saya (Abu Dzarr) bertanya: “Meskipun dia pernah berzina dan pernah mencuri?” Nabi menjawab: “Meskipun dia pernah berzina dan pernah mencuri.” [HR Al Bukhari (6268) dan Muslim (94)]

Adapun yang berkaitan dengan hukum fiqihnya, orang yang berzina di siang hari bulan Ramadhan puasanya menjadi batal dan tetap menahan diri dari makan dan minum hingga terbenamnya matahari pada hari itu dan wajib untuk membayar kaffarah atas perbuatannya. Kafarahnya adalah membebaskan budak. Jika tidak ada atau tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin. Dalil atas hal ini adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu riwayat Al Bukhari (1936) dan Muslim (1111). Kaffarah kasus zina di siang Ramadhan adalah dianggap sama dengan kaffarah kasus bersetubuh antara suami istri di siang Ramadhan.

Adapun berkaitan dengan masalah mengqadha puasa, jumhur (mayoritas) ulama mengatakan dia wajib mengganti puasa hari itu di hari yang lain. Adapun Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat tidak ada qadha atasnya, dan ini adalah pendapat yang rajih insya Allah. Alasannya adalah karena dia membatalkan puasanya secara sengaja tanpa ada uzur sakit atau safar (perjalanan jauh) sehingga tidak ada qadha atasnya sebagaimana yang dituntut oleh ayat 185 surat Al Baqarah:

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.”

Selain itu, di dalam hadits Abu Hurairah riwayat Al Bukhari dan Muslim di atas, Rasulullah صلى الله عليه وسلم hanya menyebutkan tiga bentuk kafarah tanpa memerintahkan untuk mengganti puasanya di hari lain. Adapun riwayat yang menyebutkan tambahan lafazh (وَصُمْ يَوْمًا مَكَانَهُ
 = dan berpuasalah satu hari sebagai penggantinya) adalah lafazh yang syadz sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm dan dirajihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahumallah. Demikian kesimpulan dari tulisan Syaikh Muhammad bin Hizam hafizhahullah di dalam kitab Fathul ‘Allam.

Demikian. Wallahu a’lam bish showab.

والحمد لله رب العالمين